Jumat, 29 Januari 2010

kubadayaanjawa dlm penerpan politik indonesia

Dominasi Kebudayaan Jawa dalam Penerapan Politik Indonesia




ANANG MA’RUF

24 desember 2009


        Dominasi Kebudayaan Jawa dalam Penerapan Politik Indonesia             Dominasi 
Kebudayaan Jawa dalam Penerapan Politik Indonesia (Sebuah Telaah Kritis Tentang 
Kendala Budaya dalam Penerapan Demokrasi di Indonesia)  A. Pendahuluan
 Menurut Yahya Muhaimin, masyarakat Indonesia yang secara sosio-historis 
merupakan masyarakat plural, sebenarnya mempunyai pola-pola budaya politik yang 
elemen-elemennya bersifat dualistis. Dualisme tersebut berkaitan dengan tiga 
hal, yaitu:
 1. Dualisme antara kebudayaan yang mengutamakan keharmonisan dengan kebudayaan 
yang mengutamakan kedinamisan (konfliktural). Dualisme ini bisa kita lihat 
dalam interaksi antara budaya yang dipengaruhi oleh nilai-nilai Jawa dengan 
kebudayaan yang dipengaruhi oleh kebudayaan luar Jawa, terutama Sumatera Barat, 
Sumatera Utara dan Sulawesi.
 2. Dualisme antara budaya dan tradisi yang mengutamakan keleluasaan dengan 
yang mengutamakan keterbatasan. Fenomena ini merupakan tendensi kemanunggalan 
militer-sipil dalam proses sosial politik.
 3. Dualisme akibat masuknya nilai-nilai barat ke dalam masyarakat Indonesia. 
Hakikat nilai Barat adalah pandangan hidup yang menempatkan indiidualisme dalam 
kedudukan yang vital (Muhaimin, Yahya; 52-53).
   Pada makalah ini, penulis memfokuskan bahasan pada titik yang pertama yaitu 
Dualisme Budaya Jawa dan Non Jawa dengan penekanan pada bentuk-bentuk dominasi 
Budaya Jawa dalam budaya dan pelaksanaan politik di Indonesia.
  B. Tesis Dominasi Budaya Jawa.
 Pada bagian ini, penulis akan mengutip 3 pendapat ahli untuk memperkuat judul 
makalah ini, bahwa dominasi Jawa memang terjadi, sehingga penyataan penulis 
tidak berupa klaim atau suatu sikap antipati belaka. Nazaruddin Syamsuddin, 
seorang pakar politik dari FISIP Universitas Indonesia mengemukakan, dalam 
sejarah politik Indonesia tahun 1950-an tampak adanya dua pola perbenturan yang 
menonjol, yaitu:
 1. Pola pertarungan antara sub budaya politik aristrokrasi Jawa dan 
kewiraswastaan Islam.
 2. Pola perbenturan antara sub budaya politik yang berlindung di balik 
kepentingan Jawa dan luar Jawa.
   Terkait dengan pola yang kedua, menurut Nazaruddin perbenturan antara 
kelompok-kelompok sub budaya politik Jawa dan Luar Jawa, baik dalam bentuk 
perlawanan bersenjata maupun tidak, dimensi-dimensi kepentingan politik dan 
ekonomi selalu hadir, baik secara bersamaan maupun sendiri-sendiri. Masalah 
otonomi daerah dan konsekuensi lain yang timbul dari dukungan yang kita berikan 
pada konsep sentralisasi dan desentralisasi pada umumnya mempunyai dimensi 
politik, meskipun ada kaitannya pula dengan dimensi ekonomi. Selain itu, 
persoalan pembagian kekuasaan atau pengaruh politik, baik di tingkat daerah 
maupun nasional, dan masalah keseimbangan pembangunan antara Jawa dan Luar 
Jawa, juga menjadi persoalan krusial (Syamsuddin, Nazaruddin; 42-44).
  Pemikiran dan tingkah laku politik masyarakat Indonesia yang multietnis, 
sebenarnya bukan dipengaruhi oleh campuran nilai budaya berbagai suku bangsa 
yang banyak itu. Sebaliknya, yang benar-benar mempengaruhi hanya nilai beberapa 
suku bangsa tertentu. Diantara beberapa suku bangsa yang sangat berpengaruh, 
Jawa dengan cara berpikir dan pola hidupnya paling dominan. Dominasi ini 
disebabkan oleh jumlah masyarakat orang Jawa yang cendrung mendominasi 
kehidupan politik, dan keberadaan pusat pemerintahan yang kebetulan berada di 
Jawa. Oleh karena itu, selalu terdapat kecendrungan pada suku-suku Non Jawa 
untuk selalu mengadaptasi diri dengan nilai-nilai keJawaan atau menjadikan 
nilai Jawa sebagai basis persepsi politik mereka (Muhaimin, Yahya; 53-54).
  Pendapat Yahya tentang dominasi Jawa diamini oleh Aristides Katoppo 
(Budayawan dari Minahasa Sulawesi Utara). "Budaya politik nasional, termasuk 
budaya berdemokrasi dan khususnya berkaitan dengan bangunan sistem kekuasaan, 
merupakan hasil akumulasi, agregasi dari budaya, dan sistem kekuasaan dari 
daerah-daerah (budaya lokal).namun, suatu hal yang tidak dapat kita pungkiri 
adalah, bahwa dominasi budaya Jawa, terhadap pembentukan budaya politik 
nasional merupakan suatu keniscayaan. Karena bukan saja kekuasaan negeri ini 
dikendalikan dari Jawa, tapi struktur kekuasaan yang ada pun didominasi oleh 
orang Jawa, sebagai akibat dari dominannya etnis Jawa secara kuantitatif. 
Kondisi ini kemudian membuat kecendrungan etnis lain mengakomodir/menyesuaikan 
dengan tradisi/budaya Jawa, termasuk dalam berdemokrasi (mengelola kekuasaan). 
Akibat lanjutannya konsep demokrasi dan konsep kekuasaan nasional, sangat 
dipengaruhi oleh konsep kekuasaan Jawa. (Katoppo, Aristides; 2).
  C. Budaya Politik Jawa
 Yahya Muhaimin dalam tulisannya "Persoalan Budaya Politik Indonesia" 
mengutarakan tentang sikap-sikap masyarakat Jawa terkait dengan pelaksanaan 
politik di Indonesia. Adapun sikap-sikap itu antara lain:
   1. Konsep "Halus"
 Masyarakat Jawa cendrung untuk menghindarkan diri atau cendrung untuk tidak 
berada pada situasi konflik dengan pihak lain dan bersamaan dengan itu mereka 
juga cendrung selalu mudah tersinggung. Ciri-ciri ini berkaitan erat dengan 
konsep "halus" (alus) dalam konteks Jawa, yang secara unik bisa diterjemahkan 
ke dalam bahasa Inggris dengan kata subtle, smooth, refined, sensitive, polite 
dan civilized. Konsep ini telah ditanamkan secara intensif dalam masyarakat 
Jawa sejak masa kanak-kanak. Ia bertujuan membentuk pola "tindak-tanduk yang 
wajar", yang perwujudannya berupa pengekangan emosi dan pembatasan antusiasme 
serta ambisi. Menyakiti dan menyinggung orang lain dipandang sebagai tindakan 
kasar, rough, crude, vulgar, coarse, insensitive, impolite dan uncivilized (ora 
njawa). Nilai-nilai semacam ini menyebabkan orang Jawa kelihatan cendrung 
mempunyai konsepsi tentang "diri" yang dualistis.
   Sebagai manifestasi tingkah laku yang halus, kita mengenal dua konsep yang 
bertautan, yaitu "malu" dan "segan". Yang pertama berkonotasi dari perasaan 
discomfort sampai ke perasaan insulted atau rendah diri karena merasa berbuat 
salah. Yang kedua, "segan", mirip dengan yang pertama tapi tanpa perasaan 
bersalah. Rasa segan (sungkan). Ini merupakan perpaduan antara malu dan rasa 
hormat kepada "atasan" atau pihak lain yang setara namun belum dikenalnya 
dengan baik.
  Dari tema-tema kultural seperti di atas, kita dapat memahami mengapa orang 
Jawa mempunyai kesulitan untuk berlaku terus terang. Ini terjadi karena ia 
ingin selalu menyeimbangkan penampilan lahiriah dengan suasana batinnya 
sedemikian rupa sehingga dianggap tidak kasar dan tidak menganggap keterbukaan 
(keterusterangan) sebagai suatu yang terpuji kalau menyinggung pihak lain. 
Untuk itu seorang lawan bicara (counterpart) mesti memiliki sensitivitas 
tertentu karena ketiadaan sensitivitas akan sering mengakibatkan suatu hasil 
yang jauh dari yang dimaksudkan.
  2. Menjunjung Tinggi Ketenangan Sikap
 Sikap ini merupakan refleksi tingkah laku yang halus dan sopan. Pola ini 
merupakan pencerminan kehalusan jiwa yang diwujudkan dengan pengendalian diri 
dan pengekangan diri. Kewibawaan ini bisa tercapai dengan bersikap tenang di 
muka umum, yaitu dengan memusatkan kekuatan diri. Ini berarti bahwa pribadi 
yang berwibawa adalah pribadi yang tenang, tidak banyak tingkah dan karenanya 
tidak akan selalu mulai melakukan manufer. Sebagai seorang yang berwibawa, 
dalam tingkat pertama, ia merasa tidak akan membutuhkan orang lain, sebaliknya 
orang lain yang selalu membutuhkannya. Karena itu, ia akan selalu merasa perlu 
membuat jarak dengan orang lain. Karakteristik inilah yang merupakan pola 
kultural bahwa tindakan dan tingkah laku akan mengakibatkan resiko tertentu 
yang tidak baik bila tindakan tersebut tidak didasarkan pada ketenangan jiwa 
atau didasarkan pada pamrih, ketidaktulusan dan penuh emosi.
   Pola ini mengindikasikan bahwa masyarakat Jawa menganggap orang yang 
berwibawa tidak perlu berarti orang yang aktif atau orang yang memecahkan 
berbagai persoalan rutin sehari-hari atau orang orang yang terlibat dalam 
pembuatan keputusan sehari-hari, bukan a man of action. Orang yang berwibawa 
adalah orang memiliki status tertentu sehingga merupakan objek loyalitas dan 
kepatuhan pada orang lain. Bertalian dengan pola ini, terdapat suatu 
kecendrungan pada orang Jawa agar kelihatan lebih penting menghargai simbol 
daripada subtansi dan menghargai status daripada fungsi seseorang.
  Letak status yang sentral ini mendapatkan penjabaran yang cukup unik dalam 
kaitannya dengan kekuasaan. Dalam konteks ini, harta merupakan sumber 
kekuasaan, sebab kekayaan merupakan sumber status, tapi sepanjang kekuasaan itu 
dirasakan juga oleh orang lain. Bila orang lain bisa menikmati kekayaan itu, 
maka kesetiaan dan ketaatan akan timbul secara otomatis dari mereka yang berada 
di sekelilingnya. Hal yang demikian berlaku pula pada sumber-sumber status yang 
lain, misalnya ilmu pengetahuan, jabatan dan sebagainya. Dengan demikian dapat 
dikatakan bahwa dalam tradisi ini kekayaan tidak secara otomatis membawa 
kewibawaan atau kekuasaan, bila kekayaan itu tidak dibagi-bagikan, tidak 
dinikmati bersama-sama. Kekayaan seperti akan bersifat destruktif, sebab 
dilandasi pamrih.
  3. Konsep Kebersamaan
 Dalam kebudayaan Jawa, kebersamaan ini secara operasional tidak sekedar 
diaktualisasikan dalam aspek-aspek yang materialistis, tapi juga dalam 
aspek-aspek yang non materialistis atau yang menyangkut dimensi moral. 
Implikasi dimensi yang sangat luas ini ialah kaburnya hak dan kewajiban serta 
tanggung jawab seseorang. Jika seseorang mempunyai hak atas sesuatu, maka dalam 
kerangka ini, orang lain akan cendrung berusaha menikmati hak tersebut. Pihak 
yang secara intrinsik mempunyai hak juga cendrung membiarkan orang lain ikut 
menikmatinya. Karena itu, kalau seseorang memiliki kewajiban atau tanggung 
jawab, maka orang tersebut cendrung ingin membagi kewajiban itu pada orang 
lain. Dengan demikian, takkala suatu pihak dituntut untuk 
mempertanggungjawabkan kewajibannya, maka secara tidak begitu sadar ia 
seringkali bersikap agar pihak lain juga bersama-sama memikul tanggung jawab 
itu. Bahkan seluruh anggota masyarakat diinginkan agar sama-sama mengemban 
tanggung jawab. Implikasi
 selanjutnya ialah adanya kecendrungan bahwa takkala diperingatkan (dikritik) 
agar bertanggung jawab, ia cendrung mengabaikan peringatan (kritik) tersebut 
sebab orang lain atau anggota masyarakat selain dia dirasakannya tidak dimintai 
pertanggunjawaban, padahal mereka telah ikut menikmati haknya tadi. Sedemikian 
jauh sifat pengabaian itu sehingga sering sampai pada titik "tidak ambil 
pusing". Pada titik inilah masyarakat Jawa kelihatan kontradiktif, yakni, pada 
satu segi, selalu berusaha bersikap dan berlaku halus serta bertindak tidak 
terus terang, tetapi pada segi lain sering bersikap "tidak ambil pusing" (tebal 
muka) terhadap kritik yang langsung sekalipun serta bersikap "menolak" secara 
terus terang.
   Dari kualitas kultural yang tergambar secara singkat di atas, kita dapat 
menyimpulkan bahwa sesungguhnya hubungan-hubungan sosial merupakan basis dan 
sumber hubungan politik. Dalam hubungan sosial politik masyarakat Jawa bersifat 
sangat personal. Di samping itu, terdapat suatu kecendrungan yang amat kuat 
bahwa dalam masyarakat terdapat watak ketergantungan yang kuat pada atasan 
serta ketaatan yang berlebihan pada kekuasaan, sebab status yang dipandang 
sebagai kewibawaan politik dijunjung begitu tinggi. Semua kecendrungan 
sosio-kultural ini memperkental sistem patron-klien yang sangat canggih dalam 
masyarakat. Dengan sistem seperti ini, keputusan-keputusan dalam setiap aspek 
diambil untuk menjaga harmoni dalam masyarakat yang dipimpin para "orang bijak" 
tersebut, yang menurut banyak orang, disebabkan oleh warisan kultural 
masyarakat pemerintahan tani tradisional yang bersifat sentralistik (Muhaimin, 
Yahya; 53-58)
  D. Telaah Kritis
 Budaya Jawa yang relatif feodal, daripada demokratis berakibat pada feodalisme 
kekuasaan nasional, merupakan persoalan urgen yang kita hadapi dalam rangka 
mewujudkan demokratisasi di Indonesia. Sebelum beranjak lebih jauh mengupas 
masalah ini, ada baiknya kita mesti memiliki pemahaman tentang indikator 
kehidupan politik yang demokratis. Bingham Powell, Jr memberikan kriteria 
tentang hal ini:
 1. Legitimasi pemerintahan didasarkan pada klaim bahwa pemerintah tersebut 
mewakili keinginan rakyatnya. Artinya, klaim pemerintah untuk patuh pada aturan 
hukum didasarkan pada penekanan bahwa apa yang dilakukannya merupakan kehendak 
rakyat.
 2. Pengaturan yang mengorganisasi perundingan untuk memperoleh legitimasi 
dilaksanakan melalui pemilihan umum yang kompetitif. Pemimpin dipilih dengan 
interval yang teratur, dan pemilih dapat memilih di antara alternatif calon. 
Dalam prakteknya, paling terdapat dua partai politik yang mempunyai kesempatan 
untuk menang sehingga piihan tersebut benar-benar bermakna.
 3. Sebagian besar orang dewasa dapat ikut serta dalam proses pemilihan baik 
sebagai pemilih maupun sebagai calon untuk menduduki jabatan penting.
 4. penduduk memilih secara rahasia dan tanpa dipaksa.
 5. Masyarakat dan pemimpin menikmati hak-hak dasar, seperti kebebasan 
berbicara, berkumpul, berorganisasi dan kebebasan pers. Baik partai politik 
yang lama maupun yang baru dapat berusaha untuk memperoleh dukungan ( Gaffar, 
Afan; 153).
   Melihat indikator ini, dapat dipahami bahwa demokrasi berkaitan erat dengan 
pertanggungjawaban, kompetisi, keterlibatan, dan tinggi-rendahnya kadar untuk 
menikmati hak-hak dasar.
  Sekarang kita coba meneropong budaya Jawa terkait dengan indikator ini. 
Ketika demokrasi menawarkan konsep egalitarian dengan memandang orang lain sama 
tinggi/sejajar, maka inilah persoalan pertama bagi budaya politik Jawa untuk 
eksis. Kemudian masalah keterbukaan, kita melihat dualisme sikap budaya Jawa 
yang cendrung tertutup sangat tidak baik bagi perkembangan demokrasi. Kritik 
terhadap pemimpin yang dianggap sebagai hal yang tabu menjadikan kedinamisan 
perbedaan terkekang. Budaya Jawa yang mementingkan keharmonisan membuat warna 
dialektis cendrung terkekang, kerena perbedaan dinihari dieliminir untuk 
menjaga keutuhan kebersamaan.
  E.Penutup
  Sebagai penutup dari makalah ini, baiknya penulis menyampaikan bahwa tujuan 
penulisan makalah ini bukanlah ingin menjatuhkan, memandang rendah, 
mengolok-olok budaya Jawa dalam konteks pelaksanaan demokratisasi di Indonesia. 
Namun, tujuan penulis hendak memaparkan tentang kecendrungan yang terjadi 
selama ini. Didukung dengan analisis-analisis para akademisi penulis mencoba 
untuk objektif mamaparkan masalah yang sensitif ini. Meskipun, budaya politik 
Jawa cendrung feodalistik, bukan berarti penulis mengatakan orang Jawa itu 
tidak demokratis. Negara kita didirikan atas dasar prinsip-prinsip demokrasi, 
dan sebagian besar perumusnya berasal dari Jawa. Telaah penulis lebih kepada 
kajian budaya, bukan spesifik kepada personal.
 Akhirnya, penulis berharap makalah ini bermanfaat dalam proses pembelajaran 
pada perkuliahan ini.
   F. Daftar Pustaka
 Alfian dan Nazaruddin Syamsuddin (Ed), 1991. Profil Budaya Politik Indonesia. 
PT Temprint; Jakarta.
   Najid, Muhammad dkk (Ed), 1996. Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara. 
LKPSM; Yogyakarta.
 

REFORMASI BIROKRASI

REFORMASI BIROKRASI

SEBAGAI SYARAT PEMBERANTASAN KKN

Oleh :

Profesor.Anang ma’ruf

DISAMPAIKAN PADA ACARA SEMINAR DAN LOKAKARYA

PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL VIII

YANG DISELENGGARAKAN OLEH BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL

DEPARTEMEN KEHAKIMAN DAN HAM

Sudimoro,09 januari 2009

________________________________________________________________________________

Dalam kehidupan berbagai negara bangsa di berbagai belahan dunia, birokrasi berkembang merupakan wahana utama dalam penyelenggaraan negara dalam berbagai bidang kehidupan bangsa dan dalam hubungan antar bangsa. Birokrasi bertugas menerjemahkan berbagai keputusan politik ke dalam berbagai kebijakan publik, dan berfungsi melakukan pengelolaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut secara operasional, efektip, dan efisisen. Sebab itu disadari bahwa birokrasi merupakan faktor penentu keberhasilam keseluruhan agenda pemerintahan, termasuk dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN (clean government) dalam keseluruan skenario perwujudan kepemerintahan yang baik (good governance). Namun pengalaman bangsa kita dan bangsa-bangsa lain menunjukan bahwa birokrasi tidak senantiasa dapat menyelenggarakan tugas dan fungsinya tersebut secara otomatis dan independen serta menghasilkan kinerja yang signifikan. Keberhasilan birokrasi dalam pemberantasan KKN juga ditentukan oleh banyak faktor lainnya. Di antara faktor-faktor tersebut yang perlu diperhitungkan dalam kebijakan “reformasi birokrasi” antara lain adalah komitmen dan konsistensi semua pihak yang berperan dalam penyelenggaraan negara baik unsur aparatur negara mau pun warga negara untuk bersama-sama mewujudkan clean government dan good governance sesuai posisi dan peran maing-masing dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara. Yang perlu diingat adalah bahwa semuanya itu berada dan berlangsung dalam Sistem Administrasi Negara Kesatuan, Republik Indonesia (SANKRI), dan masing-masing memiliki tanggung jawab dalam mengemban perjuangan mencapai cita-cita dan tujuan NKRI. Dapatkah kita memikul tanggung jawab tersebut?. _________________________________________________________________________

A. PENDAHULUAN


Topik yang dibahas dalam sesi ini adalah ”Reformasi Birokrasi Sebagai Syarat Pemberantasan KKN”. Topik tersebut rasanya memiliki konotasi bahwa birokrasi merupakan faktor atau pun aktor utama baik dalam terjadinya KKN maupun dalam upaya pencegahan ataupun pemberantasan KKN; meskipun kita mengetahui bahwa masalah KKN bukan hanya terjadi dan terdapat di lingkungan birokrasi, tetapi penyakit tersebut juga berjangkit dan terjadi pula pada sektor swasta, dunia usaha, dan lembaga-lembaga dalam masyarakat pada umumnya. Dalam hubungan “reformasi birokrasi” ini sekalipun secara konseptual kita dapat membatasi masalah KKN dalam lingkup “urusan-urusan publik yang ditangani birokrasi”. Namun secara aktual, interaksi birokrasi dengan lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat dan dunia usaha merupakan suatu keniscayaan; dan dalam hubungan “interaksi dengan publik utamanya dalam pelayanan publik” itulah KKN bisa berkembang pada kedua pihak, dalam dan antar birokrasi, dunia usaha, dan masyarakat, dengan jenjang yang panjang dan menyeluruh.

Sebab itu, usaha pemberantasan KKN perlu dilihat dalam konteks “reformasi birokrasi”, bahkan “reformasi sistem administrasi negara” secara keseluruhan. Dalam hubungan itu, agenda utama yang perlu ditempuh dalam reformasi birokrasi adalah perwujudan kepemerintahan yang baik (good governance) yang sasaran pokoknya adalah : terwujudnya penyelenggaraan negara yang profesional, partisipatif, berkepastian hukum, transparan, akuntabel, memiliki kredibilitas, bersih dan bebas KKN; peka dan tanggap terhadap segenap kepentingan dan aspirasi rakyat di seluruh wilayah negara; serta berkembangnya budaya dan perilaku politik dan pemerintahan yang mengindahkan nilai dan prinsip kepemerintahan yang baik, dan aktivitas aparatur pemerintahan yang didasari etika, integritas, profesionalisme dalam pengabdian, pengayom-an, pelayanan, pertanggung jawaban publik.

Dalam hubungan itu, dari sudut disiplin dan sistem administrasi negara good governance dapat dipandang merupakan paradigma yang antara lain berisikan konsep yang mencakup 3 (tiga) aktor utama di atas, yaitu pemerintahan negara di mana birokrasi termasuk di dalamnya, dunia usaha (swasta, dan usaha-usaha negara), dan masyarakat. Ketiga aktor yang berperan dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa tersebut (publik, dunia usaha, dan masyarakat) memiliki posisi, peran, tanggung jawab, dan kemampuan yang diperlukan untuk suatu proses pembangunan yang dinamis dan berkelanjutan. Dalam konsep good governance ketiga aktor dalam sistem administrasi negara tersebut ditempatkan sebagai mitra yang setara.[1]

Tindak pidana korupsi telah terjadi secara meluas, dan dianggap pula telah menjadi suatu penyakit yang sangat parah yang tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, menggerogoti demokrasi, merusak aturan hukum, dan memundurkan pembangunan[2], serta memudarkan masa depan bangsa.

Korupsi terjadi di negara-negara di seluruh dunia. Hal ini mendorong masyarakat internasional untuk bekerjasama dalam pemberantasan korupsi. Komitmen masyarakat internasional dalam upaya pemberantasan korupsi juga didukung oleh berbagai lembaga pembiayaan utama dunia, seperti World Bank, ADB, IMF, dan juga organisasi internasional lainnya seperti OECD dan APEC. Bahkan PBB dalam Sidang Umum tanggal 16 Desember 1996 menyatakan deklarasi untuk pemberantasan korupsi dalam dokumen United Nation Declaration Against Corruption and Bribery In International Commercial Transaction yang dipublikasikan sebagai resolusi PBB No. A/RES/51/59, tanggal 28 Januari 1997. Semangat anti korupsi terus berlanjut antara lain tercermin dalam “Declaration of 8th International Conference Against Corruption” yang diselenggarakan di Lima, Peru, pada tangal 11 September 1997 dan dihadiri oleh wakil-wakil masyarakat dari 93 negara. Konferensi tersebut meyakini bahwa untuk memerangi korupsi diperlukan kerjasama antara masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah. Di antara berbagai butir penting lainnya dalam deklarasi konferensi tersebut adalah bahwa semua penyelenggaraan pemerintahan harus dilakukan secara transparan dan akuntabel; serta harus menjamin independensi, integritas, dan depolitisasi sistem peradilan sebagai bagian penting dari tegaknya hukum yang akan menjadi tumpuan dari semua upaya pemberantasan korupsi yang efektif.

Sementara itu, banyak pakar dan pengamat ekonomi dan politik serta para tokoh masyarakat Indonesia dan internasional baik melalui media massa maupun pada forum-forum lainnya, menyatakan bahwa dibanding korupsi yang terjadi diberbagai negara lain, fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia sudah menjadi penyakit yang kronis dan sulit disembuhkan; korupsi telah menjadi sesuatu yang sistemik: sudah menjadi suatu sistem yang menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan negara dan bahkan dikatakan bahwa pemerintahan justru akan hancur apabila korupsi diberantas. Struktur pemerintahan yang dibangun dengan latar belakang korupsi akan menjadi struktur yang korup dan akan hancur manakala korupsi tersebut dihilangkan.

Berbagai lembaga atau organisasi di luar negeri baik swasta maupun pemerintah juga berpendapat bahwa fenomena korupsi di Indonesia sudah sangat parah. Hal ini ditunjukkan antara lain dari berbagai hasil survei atau penelitian yang mereka lakukan dan dibandingkan dengan kondisi di berbagai negara lainnya, antara lain seperti hasil penelitian dari PERC (Political and Economic Risk Consultancy, 2000) yang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi tertinggi dan sarat kroniisme dengan skor 9,91 untuk korupsi, dan 9,09 untuk kroniisme diantara negara-negara Asia, dengan skala penilaian yang sama antara nol yang terbaik hingga sepuluh yang terburuk. Hasil penelitian tersebut, menempatkan Indonesia pada peringkat bawah atau tergolong pada negara dengan tingkat korupsi yang sangat parah. Selain itu, menurut penelitian tersebut, masalah korupsi juga terkait erat dengan birokrasi. Dalam hubungan ini birokrasi Indonesia dinilai termasuk terburuk. Di tahun 2000 Indonesia memperoleh skor 8 (yaitu kisaran skor nol untuk terbaik dan 10 untuk yang terburuk) yang berarti jauh dibawah rata-rata kualitas birokrasi di negara-negara Asia. Terpuruknya Indonesia dalam kategori korupsi dan birokrasi, juga dilengkapi dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh PERC (2001) dan Price Water House Cooper (2001) tentang ranking negara-negara Asia dalam implementasi good governance. Indonesia menempati ranking/urutan ke 89 dari 91 negara yang disurvei; dan dari sisi competitiveness Indonesia menempati urutan ke-49 dari 49 negara yang diteliti. Terlepas dari berbagai paramater yang mungkin bisa diperdebatkan, hasil-hasil penelitian tersebut harus kita perhatikan untuk mengantisipasi pembesaran dampaknya.

Berbagai fenomena dan sejarah perkembangan korupsi di Indonesia tersebut menunjukkan adanya kaitan erat antara KKN dengan perilaku kekuasaan dan birokrasi yang melakukan penyimpangan.

B. USAHA PEMBERANTANSAN KKN

Upaya pemberantasan korupsi yang selama lebih dari 40 tahun telah dilakukan, baik pada era Orde Lama dan Orde Baru, maupun pada era reformasi sekarang ini, belum menunjukkan hasil seperti yang kita harapkan. KKN yang merupakan penyakit kronis Orde Baru, berkembang menjadi neo-KKN di orde transisi sekarang ini. Sebenarnya pemberantasan KKN telah menjadi agenda utama gerakan reformasi yang bergulir sejak tahun 1998. Beberapa perangkat hukum yang mengatur soal pemberantasan KKN dan menciptakan aparat pemerintah yang bersih dan bertanggungjawab yang ditetapkan sejak tahun 1998 antara lain adalah Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelengara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan upaya pemberantasan korupsi adalah antara lain Keppres Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsmen Nasional, sebagai tindak lanjut dari Keppres Nomor 155 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian Pembentukan Lembaga Ombudsmen Nasional; PP Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah; PP Nomor 56 Tahun 2000 tentang Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; PP Nomor 274 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; dan Tap MPR Nomor VI/MPR/2001 yang intinya menumbuhkan kesadaran bahwa tertib sosial, ketenangan dan ketentraman hidup bersama hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan pada hukum dan berpihak pada keadilan.

Majelis Permusyawaratan Rakyat pada Sidang Istimewa tahun 1998, telah mengeluarkan Ketetapan Nomor XI/MPR/1998 tentang Penye-lenggara Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Ketetapan tersebut antara lain menyatakan bahwa upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan secara tegas dengan melaksanakan secara konsisten Undang Undang Tindak Pidana Korupsi. Upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya, maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Suharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak asasi manusia. Untuk mencegah praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme, ditentukan pula bahwa seseorang yang menjabat suatu jabatan negara harus bersumpah sesuai dengan agamanya dan harus mengumumkan dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum dan setelah menjabat oleh suatu lembaga yang dibentuk oleh Kepala Negara.

Sebagai pelaksanaan ketetapan MPR tersebut, di samping dibentuk Undang-undang baru, juga dilakukan pembaharuan atas Undang-Undang Pemberantasan Korupsi Nomor 3 Tahun 1971. Undang-Undang baru yang dibentuk adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN yang disahkan tanggal 18 Mei 1999. Undang-Undang ini antara lain menentukan pula kewajiban setiap penyelenggara negara untuk (1) mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum memangku jabatannya; (2) bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat; (3) melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat; (4) tidak melakukan KKN; (5) melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras dan golongan; (6) melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela; dan (7) bersedia menjadi saksi dalam perkara KKN, serta dalam perkara lainnya.

Selanjutnya Undang-Undang tersebut menjelaskan maksud dari penyelenggara negara yang bersih yaitu adalah penyelenggara negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya. Asas-asas umum penyelenggaraan negara dimaksud meliputi (1) Asas Kepastian hukum; (2) Asas Tertib Penyelenggaraan Negara; (3) Asas Kepentingan Umum; (4) Asas Keterbukaan; (5) Asas Proporsionalitas; (6) Asas profesionalitas; dan (7) Asas Akuntabilitas.

Kemudian untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN, Presiden selaku Kepala Negara berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 127 tahun 1999 membentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara, sebagai lembaga independen yang dalam pelaksanaan tugasnya bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Keanggotaan komisi ini terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat; dan terdiri dari Sub Komisi eksekutif, legislatif, yudikatif dan BUMN/BUMD. Hasil-hasil pemeriksaan Komisi Pemeriksa disampaikan kepada Presiden, DPR, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Khusus hasil-hasil pemeriksaan terhadap pejabat-pejabat di lingkungan yudikatif juga disampaikan kepada Mahkamah Agung. Pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah mendapat persetujuan DPR, untuk masa jabatan 5 tahun.

Selain itu untuk memperkuat landasan hukum pemberantasan korupsi, maka Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ini secara tegas menuangkan keinginan untuk memberantas praktik korupsi; antara lain dengan dimuatnya secara lebih tegas tentang unsur suap, dan juga tentang tindak pidana suap lain yang disebut sebagai gratifikasi yang berkaitan dengan jabatan, kewajiban, dan tugas.

Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti yang luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Pemberian tersebut, baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan mempergunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Dengan pencantuman gratifikasi tersebut, makin jelasl bahwa berbagai fasilitas yang selama ini diragukan sebagai suatu pelanggaran atau penyelewengan menjadi jelas, yaitu semua itu termasuk kategori suap yang dapat diusut.

Pemahaman tentang gratifikasi menjadi makin penting mengingat perkembangan saat ini menunjukkan makin banyaknya pejabat publik yang tidak berasal dari karir birokrasi dan beberapa birokrat muda yang kurang memiliki pengalaman penyelenggaraan aturan disiplin sebagai pegawai negeri..

Dalam suatu negara hukum, supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih adalah merupakan salah satu kunci berhasil tidaknya suatu negara melaksanakan tugas pemerintahan umum dan pembangunan di berbagai bidang. Yang dimaksud dengan supremasi hukum adalah keberadaan hukum yang dibentuk melalui proses yang demokratis dan merupakan landasan berpijak bagi seluruh penyelenggara negara dan masyarakat dalam arti luas, sehingga pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dapat berjalan sesuai aturan yang telah ditetapkan. Sedangkan pemerintahan yang bersih adalah pemerintahan yang bebas dari praktek KKN dan perbuatan tercela lainnya. Dengan demikian, supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih yang didukung oleh partisipasi masyarakat dan atau lembaga kemasyarakatan untuk melakukan fungsi kontrol terhadap pelaksanaan pemerintahan umum dan pembangunan merupakan salah satu upaya reformasi birokrasi dalam rangka mewujudkan good governance.

Kondisi saat ini, memperlihatkan bahwa pembahasan mengenai masalah penyelewengan kekuasaan atau kewenangan yang berbentuk korupsi, kolusi dan nepotisme, meskipun cukup komprehensif dan disertai peraturan perundang-undangan yang lengkap dan bagus sebagaimana diuraikan secara singkat di atas, namun belum nampak dilakukan penanganan yang serius oleh pemerintah. Selain itu, belum berhasilnya pemberantasan korupsi meskipun sudah ada perangkat hukum yang bagus dan dilengkapi dengan berbagai lembaga penangkal korupsi yang juga cukup banyak seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Pengawasan Fungsional -- BPKP, Bawasda, Inspektorat --, Pengawasan Melekat (Waskat), dan Pengawasan Masyarakat (Wasmas), disebabkan antara lain belum adanya persamaan persepsi antara penegak hukum dalam memahami dan melaksanakan peraturan perundang-undangan tersebut, dan belum mantapnya penyelenggaraan fungsi lembaga-lembaga penangkal korupsi.

Sesungguhnya kondisi yang mendukung upaya untuk mencari solusi yang tuntas terhadap masalah besar ini telah tersedia, yaitu tingkat kritis masyarakat yang tidak lagi tabu untuk membuka borok penyelewengan atau KKN. Transparansi semakin menjadi tuntutan yang tidak bisa ditawar, masyarakat semakin tergugah untuk menuntut keadilan dan kebenaran. Masyarakat semakin memiliki keberanian untuk mengungkapkan masalah-masalah yang semula hanya menjadi bahan gunjingan.

Namun demikian, dalam keadaan masih lemahnya tradisi atau budaya disiplin dan patuh hukum dari penyelenggara negara termasuk penegak hukumnya dan masyarakat, dan selama hukum kita belum dapat benar-benar melindungi semua orang secara adil, selama hukum masih bisa dibelokkan untuk kepentingan yang berkuasa atau kelompoknya atau yang mampu dan bersedia membayar, maka reformasi birokrasi akan berjalan timpang dan sulit untuk mewujudkan good governance yang kita cita-citakan.

C. REFORMASI BIROKRASI

Salah satu faktor dan aktor utama yang turut berperan dalam perwujudan pemerintah yang bersih (clean government) dan kepe-merintahan yang baik (good governance) adalah birokrasi. Dalam posisi dan perannya yang demikian penting dalam pengelolaan kebijakan dan pelayanan publik, birokrasi sangat menentukan efisiensi dan kualitas pelayanan kepada masyarakat dan peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Undang-undang telah ditetapkan oleh DPR dan diundangkan oleh pemerintah, dan berbagai kebijakan publik yang dituangkan dalam berbagai aturan perundang-undangan yang dikembangkan dalam rangka penyelenggaraan negara dan pembangunan tersebut, akan dapat dikelola secara efektif oleh pemerintah apabila terdapat “birokrasi yang sehat dan kuat”, yaitu ‘birokrasi yang solid, sederhana, profesional, netral, terbuka, demokratis, serta memiliki integritas dan kompetensi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya selaku abdi masyarakat, negara, dan tanah air; dalam mengemban misi perjuangan bangsa dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara”.

Birokrasi sesuai dengan kedudukannya dalam sistem administrasi negara (baca: dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan pembangunan bangsa), dan sesuai pula dengan sifat dan lingkup peker-jaannya, akan menguasai pengetahuan dan informasi, serta dukungan sumber daya yang tidak dimiliki pihak lain. Dengan posisi dan kemampuan sangat besar yang dimilikinya tersebut, birokrasi bukan saja mempunyai akses yang kuat untuk membuat kebijakan yang tepat secara teknis, tetapi juga yang mendapat dukungan politus yang kuat dari masyarakat dan dunia usaha. Birokrasi memegang peranan penting dalam perumusan, pelaksanakan, dan pengawasan berbagai kebijakan publik, serta dalam evaluasi kinerjanya. Dalam posisi yang stratejik seperti itu, adalah logis apabila pada setiap perkembangan politik, selalu terdapat kemungkinan dan upaya menarik birokrasi pada partai tertentu; birokrasi dimanfaatkan untuk mencapai atau pun mempertahankan kekuasaan oleh partai tertentu atau pihak penguasa. Kalau perilaku birokrasi berkembang dalam pengaruh politik seperti itu dan menjadi tidak netral, maka birokrasi yang seharusnya mengemban misi menegakkan “kualitas, efisiensi, dan efektivitas pelayanan secara netral dan optimal kepada masyarakat”, besar kemungkinan akan berorientasi pada kepentingan partai atau partai-partai; sehingga terjadi pergeseran keberpihakan dari “kepentingan publik” ke pada “pengabdian pada pihak penguasa atau partai-partai yang berkuasa”. Dalam kondisi seperti itu, KKN akan tumbuh dan birokrasi kehilangan jati dirinya, dari “pengemban misi perjuangan negara bangsa, menjadi partisan kelompok kepentingan yang sempit”.

“Birokrasi yang sakit” seperti itu akan menjadi corong dan memberikan kontribusi pada penguasa. Semangat keberpihakannya banyak diarahkan pada kepentingan segelintir orang atau pun kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat; bekerja dengan lamban, tidak akurat, berbelit-belit, dan sudah barang tentu tidak efisien serta memberatkan masyarakat. Sebaliknya, birokrasi yang terlalu kuat dengan kemampuan profesional yang tinggi tapi tanpa etika dan integritas pengabdian, akan cendrung menjadi tidak konsisten, bahkan arogan, sulit dikontrol, masyarakat menjadi serba tergantung pada birokrasi. Dalam perkembangan birokrasi seperti ini, juga akan memberikan dampak negatif bagi pengembangan inisiatif masyarakat, dan sudah barang tentu tidak efisien serta sangat memberatkan masyarakat. Namun pada sisi yang berseberangan hal tersebut telah sangat menguntungkan pihak-pihak tertentu yang jum-lahnya sangat sedikit bila dibandingkan dengan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Sejarah Indonesia Merdeka menunjukan, birokrasi yang tidak netral telah turut membawa Indonesia pada kekacauan politik; dan birokrasi yang tidak netral selalu tumbuh bersama dengan kekuatan dan kepentingan politik atau golongan tertentu, selalu terjebak dalam godaan KKN, dan akhirnyajuga membawa negara kita pada kehancuran ekonomi. Hal semacam itu telah terjadi pada setiap “rezim pemerintahan”; dengan akibat dan dampak yang serupa berupa kelemahan bangunan kelembagaan hukum, dan kehancuran kehidupan ekonomi, politik, dan sosial

Reformasi birokrasi yang terjadi di Indonesia pada dasarnya dirancang sebagai birokrasi yang rasional dengan pendekatan struktural-hirarkikal (tradisi weberian). Pendekatan Weberian dalam penataan kelembagaan yang berlangsung dalam pendayagunaan aparatur negara hingga dewasa ini, secara klasikal menegaskan pentingnya rasionalisasi birokrasi yang menciptakan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas melalui pembagian kerja hirarkikal dan horisontal yang seimbang, diukur dengan rasio antara volume atau beban tugas dengan jumlah sumber daya, disertai tata kerja yang legal formal, dan pengawasan yang ketat dalam pelaksanaannya. Sebab itu, dalam pertumbuhannya, birokrasi di Indonesia berkembang secara vertikal linear, dalam arti “arah kebijakan dan perintah dari atas ke bawah, dan pertanggungjawaban berjalan dari bawah ke atas”; dan koordinasi yang umumnya dilakukan secara formal sulit dilakukan. Selain itu, birokrasi Indonesia juga diwarnai dengan pendekatan struktural-kultutral dengan pengaruh budaya feodalistis yang besar, yang ditandai pula dengan arogansi kekuasaan, sehingga merupakan lahan subur bagi tumbuhnya KKN. Dalam kondisi seperti itu akan sulit bagi Indonesia untuk menghadirkan good governance, birokrasinya masih ditandai dengan budaya politik “feodalistik”, tidak mengindahkan etika professionaliseme, berkembangnya neo-KKN, dan bekerja bukan untuk kepentingan masyarakat sebagaimana dicanangkan dalam agenda refor-masi birokrasi yang terarah pada perwujudan good governance dan clean government, serta sebagai salah satu pelaksanaan amanat pembukaan UUD 1945.

Berbagai fenomena di atas mengungkapkan perlunya pelaksanaan reformasi birokrasi secara menyeluruh dan sistematis sebagai bagian dari pembangunan Sistem Administrasi Negara Kesatuan, Republik Indonesia (SANKRI) yang harus dengan sadar dikembangkan sebagai “wahana perjuangan bangsa dalam mengemban cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Struktur dan perilaku birokrasi yang interdependen dengan faktor-faktor internal (“struktur dan saling hubungan organisasional yang kompleks”) dan eksternal (“berbagai organisasi yang berkembang dalam masyarakat”), membutuhkan pendekatan administrasi negara yang menempatkan lembaga-lembaga pemerintahan negara termasuk birokrasi di dalamnya dalam kedudukan yang setara dengan unsur lainnya dalam bermasyrakat, berbangsa, dan bernegara.

Dalam konteks SANKRI, reformasi birokrasi yang dilakukan harus mencakup keseluruhan unsur sistem dan perilaku birokrasi, dan langkah-langkah yang dilakukan harus sejalan dengan tantangan lingkungan stratejik dan cepatnya perubahan zaman yang dihadapi. Tuntutan akan reformasi birokrasi yang berfokus pada peningkatan “daya guna, hasil guna, bersih, dan bertanggung jawab, serta bebas KKN” mengandung makna perlunya langkah-langkah pendayagunaan bukan saja (a) terhadap sistem birokrasi dan birokrat, tetapi juga (b) langkah-langkah serupa pada berbagai institusi dan individu di luar birokrasi, baik publik maupun private, termasuk lembaga-lembaga negara dan berbagai lembaga yang berkembang dalam masyarakat, beserta segenap person-nelnya; dan (c) semuanya itu dilakukan secara sinergis dengan semangat “mengemban perjuangan yang diamanatkan konstitusi”, dan mengin-dahkan prinsip-prinsip kepeme-rintahan yang baik.

Sebagaimana telah diungkapkan di atas, “administrasi negara” adalah “administrasi” mengenai “negara”; yang dalam konteks NKRI disebut SANKRI. Sebagaimana sistem lainnya, pada SANKRI terdapat unsur-unsur sistemik berikut, (a) tata nilai, yang melandasi dan menjadi acuan perilaku terhadap sistem dan proses birokrasi, (b) struktur (tatanan kelembagaan negara dan masyarakat pada setiap satuan wilayah), (c) proses [manajemen dalam keseluruhan fungsinya, dalam dina-mika kegiatan dan entitas publik dan private (business and society)], dengan tujuan tertentu; dan (d) sumber daya aparatur yang berada pada struktur dengan posisi, hak, kewajiban, dan tanggung jawab tertentu yang berperan menerjemahkan dan mendukung proses sehingga mencapai kinerja tertentu.

Reformasi birokrasi dalam skim “pembangunan sistem administrasi negara” mengacu dan berpedoman pada amanat konstitusi negara kita. Hal itu berarti kita harus pertama-tama adalah mencermati berbagai unsur sistem dari administrasi mau pun negara, dan posisi serta interakasi antar keduanya, kemudian mengidentifikasi berbagai kelemahan yang pokok-pokonya telah dikemukakan di atas, selanjutnya menyusun strategi dan program aksi yang terarah pada pencapaian sasaran optimal yang hendak dicapai serta penilaian kinerja secara objetif rasional.

(a) Transformasi nilai. Tata nilai dalam suatu sistem berperan melandasi, memberikan acuan, menjadi pedoman perilaku, dan menghikmati eksistensi dan dinamika unsur-unsur lainnya dalam sistem administrasi negara termasuk birokrasi. Reformasi birokrasi yang hendak dilakukan pertama-tama harus menjaga konsistensinya dengan berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam konstitusi negara yang menjadi dasar eksistensi dan acuan perilaku sistem dan proses administrasi negara bangsa ini. Reformasi birokrasi harus merefleksikan transformasi nilai. Dasar kegitimasi eksistensi setiap individu dan institusi di negeri ini adalah kompetensi dan kontribussinya masing-masing dalam meng-aktualisasikan dan mewujudkan berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam konstitusi kita.

Dalam pembukaan UUD 1945 terkandung dimensi-dimensi nilai yang merupakan pesan peradaban dan kemanusiaan yang sangat luhur dan mendasar, hakiki dan universal; yang seharusnya menghikmati, melandasi, memberi acuan, dan menggariskan tujuan NKRI. Semua itu merupakan dimensi-dimensi nilai sistem administrasi negara kita yang merupakan nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan bangsa, yang harus diwujudkan dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dan dalam hubungan antar bangsa; sebagai acuan pokok dalam pengembangan “visi, misi, dan strategi” dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan bangsa dewasa ini dan di masa datang. Secara keseluruhan dimensi-dimensi nilai tersebut terdiri dari dimensi spiritual, berupa pengakuan terhadap kemahakekuasaan dan curahan rahmat Allah SWT dalam perjuangan bangsa (pada alinea tiga); dimensi kultural, berupa landasan falsafah negara yaitu Pancasila; dan dimensi institusional, berupa cita-cita (alinea dua) dan tujuan bernegara, serta nilai-nilai yang terkandung dalam bentuk negara dan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara (alinea empat).[3]

Berbagai dimensi institusional itu pada intinya menggariskan bahwa Indonesia adalah negara bangsa, negara kesatuan, negara hukum, dan negara demokrasi, negara yang bertujuan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat bangsa di seluruh wilayah negara bahkan di seluruh belahan dunia, dengan segala kandungan makna dan implikasinya dalam sistem dan proses penyelenggaraan pemerintahan negara termasuk yang dewasa ini dikenal sebagai nilai dan prinsip kepemerintahan yang baik (good governance).

Konstitusi negara kita menegaskan bahwa Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokrastis, berbentuk negara kesatuan dengan sistem dan proses kebijakan yang mengakomodasikan peran masyarakat yang luas (terbuka, partisipatif, dan akuntabel). Pengambilan keputusan politik yang strategis dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, itu dilakukan bersama secara musyawarah dan mufakat melalui lembaga-lembaga perwakilan [MPR; DPR(D)] sebagai representasi rakyat bangsa dari dan di seluruh wilayah negara yang terbagi atas daerah besar (provinsi) dan kecil (Kabupaten/Kota, dan Desa) dengan kewenangan-kewenangan otonomi tertentu. Berbagai kebijakan pemerintahan tersebut kemudian dituangkan dalam peraturan perundangan tertentu (Ketetapan MPR, UU, PP, Perpu, Keppres, dan Perda). Undang-Undang, PP dan Perda tentang substansi masalah publik tertentu ditetapkan pemerintah setelah mendapatkan persetujuan DPR(D) dan pelaksanaannya harus dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada publik. Sebagai kebijakan yang dikembangkan dalam rangka penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa untuk mencapai tujuan bernegara, keseluruhannya harus terjaga keserasian dan keterpaduannya satu sama lain. Dari sini kita melihat dimensi penting lainnya yang terkandung dalam dimensi-dimensi nilai tersebut yaitu “kepastian hukum, demokrasi, kebersamaan, partisipasi, keterbukaan, desentralisasi kewenangan serta pengawasan dan pertanggungjawaban”.[4] Dalam hubungan itu, KKN tidah hanya mengandung pengertian penyalahgunaan kekuasaan ataupun kewe-nangan yang mengakibatkan kerugian keuangan dan asset negara, tetapi juga setiap kebijakan dan tindakan yang menimbulkan depresiasi nilai publik, baik tidak sengaja atau pun terpaksa.

Semua itu menunjukkan komitmen kuat dari konstitusi negara kita terhadap nilai dan prinsip kepemerintahan atau manajemen pemerintahan yang baik (good governance), suatu pemerintahan yang amanah, yang harus diwujudkan dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa, di pusat dan daerah. Sebagaimana kita ketahui, nilai dan prinsip dasar yang menandai good governance secara universal antara lain adalah kepastian hukum, transparansi, partisipasi, profesionalitas, dan pertanggungjawaban (akuntabilitas); yang dalam konteks nasional perlu ditambahkan dengan nilai dan prinsip daya guna, hasil guna, bersih (clean government), desentralisasi, kebijakan yang serasi dan tepat, serta daya saing[5].

Dimensi-dimensi nilai itu pulalah yang harus kita aktualisasikan dalam dan melalui reformasi birokrasi dalam berbagai aspeknya, dengan penyusunan visi, misi, dan strategi yang tepat dan efektip. Hal itu juga mengindikasikan diperlukannya suatu “grand strategy” dalam penataan birokrasi secara sistemik, yang mempertimbangkan bukan saja keseluruhan kondisi internal birokrasi tetapi juga permasalahan dan tantangan stratejik yang dihadapkan lingkungannya. Dalam konteks perubahan internal tersebut, reformasi birokrasi perlu diarahkanan pada (1) penyesuaian visi, misi, dan strategi, (2) perampingan organisasi dan penyederhanaan tata kerja, (3) pemantapan sistem manajemen, dan (4) peningkatan kompetensi sumber daya manusia; secara keseluruhan semua itu disesuaikan dengan dimensi-dimensi nilai SANKRI, dan tantangan lingkungan stratejik yang dihadapi.

Birokrasi Pemerintah Pusat dan Daerah perlu memiliki visi, misi, strategi, agenda kebijakan, kompetensi, dan komitmen pembangunan dan pelayanan yang jelas dilandasi dimensi-dimensi nilai SANKRI dan tegas terfokus pada permasalahan yang mendesak perlu di atasi, dan terarah pada perwujudan cita-cita dan tujuan bangsa bernegara. Dengan visi, misi, strategi yang didasarkan pada yang berorientasi pada penerapan nilai-nilai sebagaimana diamanatkan para founding fathers negara bangsa ini, disertai kompetensi dan komitmen yang kuat dalam keseluruhan tatanan organisasinya yang tersusun secara tepat disertai pelimpahan kewenangan yang seimbang, birokrasi dapat diharapkan akan dmampu encapai kinerja yang optimal dalam menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa.

(2) Penataan Organisasi dan Tata Kerja. Penataan organisasi pemerintah baik pusat maupun daerah didasarkan pada visi, misi, sasaran, strategi, agenda kebijakan, program, dan kinerja kegiatan yang terencana; dan diarahkan pada terbangunnya sosok birokrasi yang ramping, desentralistik, efisien, efektif, berpertanggung jawaban, terbuka, dan aksesif; serta terjalin dengan jelas satu sama lain sebagai satu kesatuan birokrasi nasional dalam SANKRI. Seiring dengan itu, penyederhanaan tata kerja dalam hubungan intra dan antar aparatur, serta antara aparatur dengan masyarakat dikembangkan terarah pada penerapan pelayanan prima, dan mendorong peningkatan produktivitas kegiatan pelayanan aparatur dan masyarakat.

(3) Pemantapan Sistem Manajemen. Dengan makin meningkatnya dinamika masyarakat dalam penyelengaraan negara dan pembangunan bangsa, pengembangan sistem manajemen pemerintahan diprioritaskan pada revitalisasi pelaksanaan fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan dan pelayanan publik yang kondusif, transparan, impersonal, dan akuntabel, disertai dukungan sistem informatika yang sudah terarah pada pengembangan e-administration atau e-government. Peran birokrasi lebih difokuskan sebagai agen pembaharuan, sebagai motivator dan fasilitator bagi tumbuh dan berkembangnya swakarsa dan swadaya serta meningkatnya kompetensi masyarakat dan dunia usaha. Dengan demikian, dunia usaha dan masyarakat dapat menjadi bagian dari masyarakat yang terus belajar (learning community), mengacu kepada terwujudnya masyarakat maju, mandiri, dan berdaya saing tinggi.

(4) Peningkatan Kompetensi SDM Aparatur. Sosok aparatur masa depan penampilannya harus profesional sekaligus taat hukum, netral, rasional, demokratik, inovatif, mandiri, memiliki integritas yang tinggi serta menjunjung tinggi etika administrasi publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Peningkatan profesionalisme aparatur harus ditunjang dengan integritas yang tinggi, dengan mengupayakan terlembagakannya karakteristik sebagai berikut: (a) mempunyai komitmen yang tinggi terhadap perjuangan mencapai cita-cita dan tujuan bernegara, (b) memiliki kompetensi yang dipersyaratkan dalam mengemban tugas pengelolaan pelayanan dan kebijakan publik, (c) berkemamapuan melaksanakan tugas dengan terampil, kreatif, dan inovatif, (d) disiplin dalam bekerja berdasarkan sifat dan etika profesional, (e) memiliki daya tanggap dan sikap bertanggung gugat (akuntabilitas), (f) memiliki derajat otonomi yang penuh rasa tanggung jawab dalam membuat dan melaksanakan berbagai keputusan sesuai kewenangan, dan (g) memaksimalkan efisiensi, kualitas, dan produktivitas. Selain itu perlu pula diperhatikan reward system yang kondusif, baik dalam bentuk gajih mau pun perkembangan karier yang didasarkan atas sistem merit. Mengantisipasi tantangan global, pembinaan sumber daya manusia aparatur negara juga perlu mengacu pada standar kompetensi internasional (world class).

Dalam pada itu, untuk mengaktualisasikan potensi masyarakat, dan untuk mengatasi berbagai permasalahan dan kendala yang dihadapi bangsa, perlu dijamin perkembangnya kreativitas dan oto-aktivitas masyarakat bangsa yang terarah pada pemberdayaan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta ketahanan dan daya saing perekonomian bangsa. Dalam pengembangan keseluruhan starategi tersebut, reformasi birokrasi dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan baik di pusat maupun di daerah-daerah, perlu memperhatikan prinsip-prinsip berikut.

Pertama, demokrasi dan pemberdayaan. Hidupnya demokrasi dalam suatu negara bangsa, dicerminkan oleh adanya pengakuan dan penghormatan negara dan penyelenggara dan aparatur negara atas hak dan kewajiban warga negara, termasuk kebebasan untuk menentukan pilihan dan mengekspresikan diri secara rasional sebagai wujud rasa tanggung jawabnya dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa. Demokrasi tidak hanya mempunyai makna dan berisikan kebebasan, tetapi juga tanggung jawab; demokrasi sesungguhnya keariefan dalam memikul tanggung jawab dalam mewujudkan tujuan bersama, yang dilakukan secara berkeadaban. Dalam rangka itu, birokrasi dalam mengemban tugas pemerintahan dan pembangunan, tidak harus berupaya melakukan sendiri, tetapi mengarahkan ("steering rather than rowing"), atau memilih kombinasi yang optimal antara steering dan rowing apabila langkah tersebut merupakan cara terbaik untuk mencapai kesejahteraan sosial yang maksimal. Yang jelas sesuatu yang sudah bisa dilakukan oleh masyarakat, tidak perlu dilakukan lagi oleh pemerintah. Apabila masyarakat atau sebagian dari mereka belum mampu atau tidak berdaya, maka harus dimampukan atau diberdayakan (empowered). Pemberdayaan berarti pula memberi peran kepada masyarakat lapisan bawah di dalam keikutsertaannya dalam berbagai kegiatan pembangunan.

Dalam rangka memberdayakan masyarakat dalam memikul tanggung jawab pembangunan, peran pemerintah dapat direinveting antara lain melalui (a) pengurangan hambatan dan kendala-kendala bagi kreativitas dan partisipasi masyarakat, (b) perluasan akses pelayanan untuk menunjang berbagai kegiatan sosial ekonomi masyarakat, dan (c) pengembangan program untuk lebih mening-katkan keamampuan dan memberikan kesempatan kepada masyarakat berperan aktif dalam memanfaatkan dan mendayaguna­kan sumber daya produktif yang tersedia sehingga memiliki nilai tambah tinggi guna mening­katkan kesejahteraan mereka.

Kedua, pelayanan. Upaya pemberdayaan memerlukan semangat untuk melayani masyarakat ("a spirit of public services"), dan menjadi mitra masyarakat ("partner of society"); atau melakukan kerja sama dengan masyarakat ("co production, atau partnership”). Hal tersebut memerlukan perubahan perilaku yang antara lain dapat dilakukan melalui pembudayaan kode etik ("code of ethical conducts") yang didasarkan pada dukungan lingkungan ("enabling strategy") yang diterjemahkan ke dalam standar tingkah laku yang dapat diterima umum, dan dijadikan acuan perilaku aparatur pemerintah baik di pusat maupun di daerah-daerah.

Pelayanan berarti pula semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi dan keberhasilan bangsa dalam membangun, yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku "melayani, bukan dilayani", "mendorong, bukan menghambat", "mempermudah, bukan mempersulit", "sederhana, bukan berbelit-belit", "terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk segelintir orang". Makna administrasi publik sebagai wahana penyelenggaraan pemerintahan negara, yang esensinya "melayani publik", harus benar-benar dihayati para penyelenggara pemerintahan negara.

Ketiga, transparansi. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, di samping mematuhi kode etik, aparatur dan sistem manajemen publik harus mengembangkan keterbukaaan dan sistem akuntabilitas, serta bersikap terbuka untuk mendorong para pimpinan dan seluruh sumber daya manusia di dalamnya berperan dalam mengamalkan dan melembagakan kode etik dimaksud, serta dapat menjadikan diri mereka sebagai panutan masyarakat sebagai bagian dari pelaksanaan pertanggungjawaban kepada masyarakat dan negara.

Upaya pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha, peningkatan partisipasi dan kemitraan, selain (1) memerlukan keterbukaan birokrasi pemerintah, juga (2) memerlukan langkah-langkah yang tegas dalam mengurangi peraturan dan prosedur yang menghambat kreativitas dan otoaktivitas mereka, serta (3) memberi kesempatan kepada masyarakat untuk dapat berperanserta dalam proses penyusu-nan peraturan kebijaksanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan. Pemberdayaan dan keterbukaan akan lebih mendorong akuntabilitas dalam pemanfaatan sumber daya, dan adanya keputusan-keputusan pembangunan yang benar-benar diarahkan sesuai prioritas dan kebutuhan masyarakat, serta dilakukan secara riil dan adil sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakat.

Keempat, partisipasi. Masyarakat diikutsertakan dalam proses menghasil-kan public good and services dengan mengembangkan pola kemitraan dan kebersamaan, dan bukan semata-mata dilayani. Untuk itulah kemampuan masyarakat harus diperkuat ("empowering rather than serving"), kepercayaan masyarakat harus meningkat, dan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi ditingkatkan.

Konsep pemberdayaan ("empowerment") juga selalu dikaitkan dengan pendekat­an partisipasi dan kemitraan dalam manajemen pembangunan, dan memberikan penekanan pada desentralisasi dalam proses pengambilan keputusan agar diperoleh hasil yang diharapkan dengan cara yang paling efektif dan efisien dalam pelaksanaan pembangunan. Dalam hubungan ini perlu dicatat penting­nya peranan keswadayaan masyarakat, dan menekankan bahwa fokus pembangunan yang hakiki adalah peningkatan kapasitas perorangan dan kelembagaan ("capacity building"). Jangan diabaikan pula penyebaran informasi mengenai berbagai potensi dan peluang pembangunan nasional, regional, dan global yang terbuka bagi daerah; serta privatisasi dalam pengelolaan usaha-usaha negara.

Kelima, kemitraan. Dalam membangun masyarakat yang modern di mana dunia usaha menjadi ujung tombaknya, terwujudnya kemitraan, dan modernisasi dunia usaha terutama usaha kecil dan menengah yang terarah pada peningkatan mutu dan efisiensi serta produktivitas usaha amat penting, khususnya dalam pengembangan dan penguasaan teknologi dan manajemen produksi, pemasaran, dan informasi.

Dalam upaya mengembangkan kemitraan dunia usaha yang saling meng-untungkan antara usaha besar, menengah, dan kecil, peranan pemerintah ditujukan ke arah pertumbuhan yang serasi. Pemerintah berperan dalam menciptakan iklim usaha dan kondisi lingkungan bisnis, melalui berbagai kebijaksanaan dan perangkat perundang-undangan yang mendorong terjadinya kemitraan antarskala usaha besar, menengah, dan kecil dalam produksi dan pemasaran barang dan jasa, dan dalam berbagai kegiatan ekonomi dan pembangunan lainnya, serta pengintegrasian usaha kecil ke dalam sektor modern dalam ekonomi nasional, serta mendorong proses pertumbuhannya. Dalam proses tersebut adanya kepastian hukum sangat diperlukan.

Keenam, desentralisasi. Desentralisasi merupakan wujud nyata dari otonomi daerah, merupakan amanat konstitusi, dan tuntutan demokratisasi dan globalisasi. Dalam Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, otonomi dilaksanakan dengan pelimpahan kewenangan yang luas kepada daerah Kabupaten/Kota, dan Daerah Provinsi berperan lebih banyak dalam pelaksanaan tugas dekonsentrasi, termasuk urusan lintas Kabupaten/Kodya yang memerlukan penyelesaian secara terkoordinasi. Penguatan kelembagaan sangat diperlukan dalam mewujudkan format otonomi daerah yang baru tersebut, termasuk kemampuan dalam proses pengambilan keputusan. Ini adalah langkah yang tepat, sebab perubahan-perubahan yang cepat di segala bidang pembangunan menuntut pengambilan keputusan yang tidak terpusat, tetapi tersebar sesuai dengan fungsi, dan tangung jawab yang ada di daerah.

Karena pembangunan pada hakekatnya dilaksanakan di daerah-daerah, berbagai kewenangan yang selama ini ditangani oleh pemerintah pusat, diserahkan kepada pemerintah daerah. Langkah-langkah serupa perlu diikuti pula oleh organisasi-organisasi dunia usaha, khususnya perusahaan-perusahaan besar yang berkantor pusat di Jakarta, sehingga pengambilan keputusan bisnis bisa pula secara cepat dilakukan di daerah. Dengan kata lain desentralisasi perlu juga dilakukan oleh organisasi-organisasi bisnis.

Perbedaan perkembangan antardaerah mempunyai implikasi yang berbeda pada macam dan intensitas peranan pemerintah, namun pada umumnya masyarakat dan dunia usaha memerlukan (a) desentralisasi dalam pemberian perizinan, dan efisiensi pelayan­an birokrasi bagi kegiatan-kegiatan dunia usaha di bidang sosial ekonomi, (b) penyesuaian kebijakan pajak dan perkreditan yang lebih nyata bagi pembangunan di kawasan-kawasan tertinggal, dan sistem perimbangan keuangan pusat dan daerah yang sesuai dengan kontribusi dan potensi pembangu-nan daerah, serta (c) ketersediaan dan kemudahan mendapatkan informasi mengenai potensi dan peluang bisnis di daerah dan di wilayah lainnya kepada daerah di dalam upaya peningkatan pembangunan daerah.

Ketujuh, konsistensi kebijakan, dan kepastian hukum. Tegaknya hukum yang berkeadilan merupakan jasa pemerintahan yang terasa teramat sulit diwujudkan, namun mutlak diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, justru di tengah kemajemukan, merajalelanya KKN termasuk money politics, berbagai ketidak pastian perkembangan lingkungan, dan menajamnya persaingan. Peningkatan dan efisiensi nasional membutuhkan penyesuaian kebijakan dan perangkat perundang-undangan, namun tidak berarti harus mengabaikan kepastian hukum. Adanya kepastian hukum merupakan indikator professionalisme dan syarat bagi kredibilitas pemerintahan, sebab bersifat vital dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, serta dalam pengembangan hubungan internasional. Tegaknya kepastian hukum juga mensyaratkan kecermatan dalam penyusunan berbagai kebijakan pembangunan. Sebab berbagai kebijakan publik tersebut pada akhirnya harus ditungkan dalam sistem perundang-undangan untuk memiliki kekuatan huum, dan harus mengan-dung kepastian hukum.

Wujud dari cita-cita reformasi birokrasi adalah berupa sistem pemerintahan negara berdasarkan hukum yang merupakan perwujudan atas nilai ketaatan atau kepatuhan sebagai warga negara dan warga masyarakat dunia. Hukum harus ditempatkan pada tingkat yang paling tinggi, yang pada akhirnya tidak boleh lagi menjadi subordinasi dari bidang-bidang pembangunan khususnya ekonomi dan politik. Pembangunan hukum harus ditujukan untuk mencapai tegaknya supremasi hukum, sehingga kepentingan ekonomi dan politik tidak dapat lagi memanipulasi hukum sebagaimana lazim terjadi. Pembangunan hukum sebagai sarana mewujudkan supremasi hukum, harus diartikan bahwa hukum temasuk penegakan hukum, harus diberikan tempat yang strategis sebagai instrumen utama yang akan mengarahkan, menjaga dan mengawasi jalannya pemerintahan. Hukum juga harus bersifat netral dalam menyelesaikan potensi konflik dalam hidup dan kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk.

Pembaharuan hukum yang terkotak-kotak (fragmentaris) dan tambal sulam di antara lembaga pemerintahan harus dicegah. Penegakan hukum harus dilakukan secara sistematis, terarah dan dilandasi oleh konsep yang jelas. Selain itu penegakan hukum harus benar-benar ditujukan untuk meningkatkan jaminan dan kepastian hukum dalam masyarakat, baik di tingkat pusat maupun daerah sehingga keadilan dan perlindungan hukum terhadap HAM benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat. Untuk menjamin adanya pemerintah yang bersih (clean government) serta kepemerintahan yang baik (good governance), maka pelaksanaan pembangunan hukum harus memenuhi asas-asas kewajiban prosedural (fairness), pertanggungjawaban publik (accountability) dan dapat dipenuhi kewajiban untuk peka terhadap aspirasi masyarakat (responsibility). Untuk itu, dukungan dari penyelenggara negara secara nyata (political will) merupakan faktor yang menentukan terlaksananya pembangunan hukum secara konsisten dan konsekuen. Di samping itu koordinasi yang baik antara institusi pemerintah yang mengelola hukum dan perundangan, dengan perguruan tinggi serta LSM dalam menyusun langkah-langkah pembenahan reformasi hukum sangat diperlukan, utamanya dalam menyusun rancangan dasar dan strategi (grand design) reformasi hukum yang berkesinambungan.

Dalam pada itu, pada era globalisasi, dalam ekonomi yang makin terbuka, meskipun untuk meningkatkan efisiensi perekonomian harus makin diarahkan kepada ekonomi pasar, namun intervensi pemerintah harus menjamin bahwa persaingan berjalan dengan berimbang, dan pemerataan terpelihara. Yang terutama harus dicegah terjadinya proses kesenjangan yang makin melebar, karena kesempatan yang muncul dari ekonomi yang terbuka hanya dapat dimanfaatkan oleh wilayah, sektor, atau golongan ekonomi yang lebih maju. Peranan pemerintah makin dituntut untuk lebih dicurahkan pada upaya pemerataan. Penyelenggara pemerintahan negara harus mempunyai komitmen yang kuat kepada kepentingan rakyat, kepada cita-cita keadilan sosial.

Kedelapan, akuntabilitas. Langkah lainnya yang perlu mendapatkan perhatian dalam reformasi birokrasi adalah peningkatan akuntabilitas kinerja birokrasi dalam setiap instansi pemerintahan. Isu akuntabilitas telah banyak dibicarakan dan menjadi semakin hangat dalam era reformasi. Akuntabilitas yang sebelumnya hanya terkait pada akuntabilitas keuangan dirasakan tidak dapat memberikan rasa puas di kalangan masyarakat. Akuntabilitas yang bukan hanya menyangkut aspek keuangan harus dapat diselenggarakan oleh seluruh instansi pemerintahan. Dalam hubungan itu, masyarakat harus dapat memperoleh informasi yang lengkap mengenai kegiatan instansi penyelenggara pelayanan publik melalui laporan akuntabilitas pemerintah.

Akuntabilitas secara filosofik timbul karena adanya kekuasaan yang berupa amanah yang diberikan kepada orang atau pihak tertentu untuk menjalankan tugasnya dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Dari pengertian di atas tersirat bahwa pihak yang diberikan amanah harus memberikan laporan atas tugas yang telah dipercayakan kepadanya, dengan mengungkapkan segala sesuatu yang dilakukan, dilihat, dira-sakan yang mencerminkan keberhasilan dan kegagalan. Dengan kata lain laporan akuntabilitas tersebut bukan sekedar laporan kepatuhan dan kewajaran pelaksanaan tugas sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tetapi juga termasuk berbagai indikator kinerja yang dicapai, di samping kewajiban untuk menjawab pertanyaan mendasar tentang apa yang harus dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini si penerima amanah harus dapat dan berani mengungkapkan dalam laporannya semua kegagalan yang terjadi berkenaan dengan kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pihak yang lebih tinggi.

Pada dimensi lain, secara internal, dapat pula diidentifikasi akuntabilitas spiritual seseorang. alam hubungan ini akuntabilitas merupakan pertang-gungjawaban orang seorang kepada Tuhannya. Akuntabilitas ini meliputi pertanggungjawaban sendiri mengenai segala sesuatu yang dijalankannya, hanya diketahui dan difahami yang bersangkutan. Semua tindakan akuntabilitas spiritual didasarkan pada hubungan orang bersngkutan dengan Tuhan. Namun apabila betul-betul dilaksanakan dengan penuh iman dan taqwa, kesadaran akan akuntabilitas spiritual ini akan memberikan pengaruh yang sangat besar pada pencapaian kinerja kelembagaan. Itulah sebabnya mengapa seseorang dapat melaksanakan pekerjaan dengan hasil yang berbeda dengan orang lain, atau mengapa suatu instansi menghasilkan kuantitas dan kualitas yang berbeda terhadap suatu pekerjaan yang sama-sama dikerjakan oleh instansi lainnya walaupan uraian tugas pokok dan fungsinya telah nyata-nyata dijelaskan secara rinci.

Akuntabilitas dapat pula dilihat dari sisi eksternal, yaitu akuntabilitas orang tersebut kepada lingkungannya baik lingkungan formal (atasan bawahan) maupun lingkungan masyarakat. Kegagalan seseorang memenuhi akuntabilitas ekternal mencakup pemborosan waktu, pemborosan sumber dana dan sumber-sumber daya pemerintah yang lain, kewenangan, dan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Akuntabilitas eksternal lebih mudah diukur mengingat norma dan standar yang tersedia memang sudah jelas. Kontrol dan penilaian dari faktor ekternal sudah ada dalam mekanisme yang terbentuk dalam suatu sistem dan prosedur kerja. Seorang atasan akan memantau pekerjaan bawahannya dan akan memberikan teguran apabila terjadi penyimpangan. Rekan kerja akan saling mengingatkan dalam pencapaian akuntabilitas masing-masing. Hal ini dapat terwujud dikarenakan ada saling ketergantungan di antara mereka. Masyarakat dan lembaga-lembaga pengontrol dan penyeimbang akan bersuara dengan lantang apabila pelayanan yang diterimanya dari birokrasi tidak seperti yang diharapkannya.

Dengan penerapan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah maka keberpihakan birokrasi pada kepentingan masyarakat akan menjadi lebih besar serta dapat mempertahankan posisi netralnya. Akuntabilitas kinerja instansi pemerintah ini akan menjadi semacam sistem pengendalian intern bagi birokrasi.

D. PENUTUP

Reformasi birokrasi pemerintahan sebagai jawaban atas tuntutan akan tegaknya aparatur pemerintahan yang berdaya guna, berhasil guna, bertanggung jawab, bersih dan bebas KKN memerlukan pendekatan dan dukungan sistem administrasi negara yang mengindahkan nilai dan prinsip-prinsip good governance, dan sumber daya manusia aparatur negara yang memiliki integritas, kompetensi, dan konsistensi dalam menerapkan prinsip-prinsip tersebut, baik dalam jajaran eksekutif, legislatif, mau pun yudikatif. Selain dari unsur aparatur negara tersebut, untuk mewujudkan good governance dibutuhkan juga komitmen dan konsistensi dari semua pihak; dari dunia usaha dan masyarakat; dan pelaksanaannya di samping menuntut adanya koordinasi yang baik, juga persyaratan integritas, profesionalitas, etos kerja dan moral yang tinggi sebagaimana dituntut terhadap birokrasi. Dalam rangka itu, diperlukan pula “penegakan hukum yang efektif (effective law enforcement), serta pengembangan dan penerapan sistem dan pertanggung-jawaban yang tepat, jelas, dan nyata, sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdayaguna dan berhasilguna, bersih dan bertanggung jawab serta bebas KKN.

Untuk dapat meluruskan kembali birokrasi pada posisi dan misi atau perannya yang sebenarnya diperlukan kemampuan dan kemauan kalangan birokrasi untuk melakukan langkah-langkah reformasi birokrasi yang mencakup revitalisasi birokrasi (minimalisasi dari kegiatan politik praktis) dan perbaikan cara kerja dan berinteraksi terutama untuk pelayanan kepada masyarakat dan pemberdayaan akuntabilitas instansi pemerintah. Untuk memperbaiki cara kerja birokrasi diperlukan birokrasi yang berorientasi pada hasil. Di sinilah peran akuntabilitas dalam menyatukan persepsi anggota organisasi yang beragam sehingga menjadi kekuatan bersama untuk mencapai kemaslahatan bersama.

Selanjutnya, diperlukan sosok pemimpin yang memiliki komitmen terhadap reformasi kenegaraan secara luas dan pilihan kebijakan pembangunan yang ditujukan pada kepentingan rakyat. Reformasi struktural diperlukan, seperti independensi sistem peradilan dan sistem perekonomian negara, disertai upaya meningkatkan transparansi dan akuntabilitas sektor publik, dengan dukungan partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan publik.

Untuk memberantas korupsi diperlukan agenda dan prioritas yang jelas dengan memberikan sanksi kepada pelakunya (law enfordement). Disamping itu perlu dilakukan kampanye kepada masyarakat agar korupsi dipandang sebagai penyakit sosial. Pers sebagai kontrol sosial harus diberi kebebasan mengungkap dan memberitakan korupsi. Pengembangan budaya malu harus disertai dengan upaya menumbuhkan budaya bersalah dalam dirinya (quilty feeling).

Akhirnya satu kondisi dasar untuk pemberantasan korupsi adalah suatu kerangka hukum nyata dan menegakkan hukum tanpa campur tangan politik. Tujuannya adalah untuk menghindari konflik kepentingan dan intervensi kekuasaan terhadap proses hukum. Reformasi birokrasi akan dapat menjadi syarat pemberantasan korupsi, bila terwujud badan peradilan dan sistem peradilan yang independen, didukung dengan keterbukaan dan sistem pengawasan yang efektif.

___________________



[1] Administrasi negara adalah “administrasi mengenai negara” dalam keseluruhan kompelksitas unsur dan di-namika baik dalam unsur administrasi mau pun unsur negara, serta dalam interaksi antar unsur tersebut (Mus-topadidjaja AR, Dimensi-Dimensi Pokok SANKRI, 2003).

[2] Lihat Hamid Basyaib, Richard Holloway, dan Nono Anwar Makarim, Mencuri Uang Rakyat : 16 Kajian Ko-rupsi Di Indonesia”, 4 jilid; Jaka Aksara Foundation, 2003.

[3] Opcit, 2003.

[4] Mustopadidjaja AR, Kompetensi Aparatur Dalam Memikul Tanggung Jawab Otonomi Daerah Dalam Sis-tem Administrasi Negara Kesatuan RI, Ceramah Perdana Pada Program Paska Sarjana, Jakarta, STIA-LAN, RII, 2002.

[5] Ibid