Jumat, 29 Januari 2010

kubadayaanjawa dlm penerpan politik indonesia

Dominasi Kebudayaan Jawa dalam Penerapan Politik Indonesia




ANANG MA’RUF

24 desember 2009


        Dominasi Kebudayaan Jawa dalam Penerapan Politik Indonesia             Dominasi 
Kebudayaan Jawa dalam Penerapan Politik Indonesia (Sebuah Telaah Kritis Tentang 
Kendala Budaya dalam Penerapan Demokrasi di Indonesia)  A. Pendahuluan
 Menurut Yahya Muhaimin, masyarakat Indonesia yang secara sosio-historis 
merupakan masyarakat plural, sebenarnya mempunyai pola-pola budaya politik yang 
elemen-elemennya bersifat dualistis. Dualisme tersebut berkaitan dengan tiga 
hal, yaitu:
 1. Dualisme antara kebudayaan yang mengutamakan keharmonisan dengan kebudayaan 
yang mengutamakan kedinamisan (konfliktural). Dualisme ini bisa kita lihat 
dalam interaksi antara budaya yang dipengaruhi oleh nilai-nilai Jawa dengan 
kebudayaan yang dipengaruhi oleh kebudayaan luar Jawa, terutama Sumatera Barat, 
Sumatera Utara dan Sulawesi.
 2. Dualisme antara budaya dan tradisi yang mengutamakan keleluasaan dengan 
yang mengutamakan keterbatasan. Fenomena ini merupakan tendensi kemanunggalan 
militer-sipil dalam proses sosial politik.
 3. Dualisme akibat masuknya nilai-nilai barat ke dalam masyarakat Indonesia. 
Hakikat nilai Barat adalah pandangan hidup yang menempatkan indiidualisme dalam 
kedudukan yang vital (Muhaimin, Yahya; 52-53).
   Pada makalah ini, penulis memfokuskan bahasan pada titik yang pertama yaitu 
Dualisme Budaya Jawa dan Non Jawa dengan penekanan pada bentuk-bentuk dominasi 
Budaya Jawa dalam budaya dan pelaksanaan politik di Indonesia.
  B. Tesis Dominasi Budaya Jawa.
 Pada bagian ini, penulis akan mengutip 3 pendapat ahli untuk memperkuat judul 
makalah ini, bahwa dominasi Jawa memang terjadi, sehingga penyataan penulis 
tidak berupa klaim atau suatu sikap antipati belaka. Nazaruddin Syamsuddin, 
seorang pakar politik dari FISIP Universitas Indonesia mengemukakan, dalam 
sejarah politik Indonesia tahun 1950-an tampak adanya dua pola perbenturan yang 
menonjol, yaitu:
 1. Pola pertarungan antara sub budaya politik aristrokrasi Jawa dan 
kewiraswastaan Islam.
 2. Pola perbenturan antara sub budaya politik yang berlindung di balik 
kepentingan Jawa dan luar Jawa.
   Terkait dengan pola yang kedua, menurut Nazaruddin perbenturan antara 
kelompok-kelompok sub budaya politik Jawa dan Luar Jawa, baik dalam bentuk 
perlawanan bersenjata maupun tidak, dimensi-dimensi kepentingan politik dan 
ekonomi selalu hadir, baik secara bersamaan maupun sendiri-sendiri. Masalah 
otonomi daerah dan konsekuensi lain yang timbul dari dukungan yang kita berikan 
pada konsep sentralisasi dan desentralisasi pada umumnya mempunyai dimensi 
politik, meskipun ada kaitannya pula dengan dimensi ekonomi. Selain itu, 
persoalan pembagian kekuasaan atau pengaruh politik, baik di tingkat daerah 
maupun nasional, dan masalah keseimbangan pembangunan antara Jawa dan Luar 
Jawa, juga menjadi persoalan krusial (Syamsuddin, Nazaruddin; 42-44).
  Pemikiran dan tingkah laku politik masyarakat Indonesia yang multietnis, 
sebenarnya bukan dipengaruhi oleh campuran nilai budaya berbagai suku bangsa 
yang banyak itu. Sebaliknya, yang benar-benar mempengaruhi hanya nilai beberapa 
suku bangsa tertentu. Diantara beberapa suku bangsa yang sangat berpengaruh, 
Jawa dengan cara berpikir dan pola hidupnya paling dominan. Dominasi ini 
disebabkan oleh jumlah masyarakat orang Jawa yang cendrung mendominasi 
kehidupan politik, dan keberadaan pusat pemerintahan yang kebetulan berada di 
Jawa. Oleh karena itu, selalu terdapat kecendrungan pada suku-suku Non Jawa 
untuk selalu mengadaptasi diri dengan nilai-nilai keJawaan atau menjadikan 
nilai Jawa sebagai basis persepsi politik mereka (Muhaimin, Yahya; 53-54).
  Pendapat Yahya tentang dominasi Jawa diamini oleh Aristides Katoppo 
(Budayawan dari Minahasa Sulawesi Utara). "Budaya politik nasional, termasuk 
budaya berdemokrasi dan khususnya berkaitan dengan bangunan sistem kekuasaan, 
merupakan hasil akumulasi, agregasi dari budaya, dan sistem kekuasaan dari 
daerah-daerah (budaya lokal).namun, suatu hal yang tidak dapat kita pungkiri 
adalah, bahwa dominasi budaya Jawa, terhadap pembentukan budaya politik 
nasional merupakan suatu keniscayaan. Karena bukan saja kekuasaan negeri ini 
dikendalikan dari Jawa, tapi struktur kekuasaan yang ada pun didominasi oleh 
orang Jawa, sebagai akibat dari dominannya etnis Jawa secara kuantitatif. 
Kondisi ini kemudian membuat kecendrungan etnis lain mengakomodir/menyesuaikan 
dengan tradisi/budaya Jawa, termasuk dalam berdemokrasi (mengelola kekuasaan). 
Akibat lanjutannya konsep demokrasi dan konsep kekuasaan nasional, sangat 
dipengaruhi oleh konsep kekuasaan Jawa. (Katoppo, Aristides; 2).
  C. Budaya Politik Jawa
 Yahya Muhaimin dalam tulisannya "Persoalan Budaya Politik Indonesia" 
mengutarakan tentang sikap-sikap masyarakat Jawa terkait dengan pelaksanaan 
politik di Indonesia. Adapun sikap-sikap itu antara lain:
   1. Konsep "Halus"
 Masyarakat Jawa cendrung untuk menghindarkan diri atau cendrung untuk tidak 
berada pada situasi konflik dengan pihak lain dan bersamaan dengan itu mereka 
juga cendrung selalu mudah tersinggung. Ciri-ciri ini berkaitan erat dengan 
konsep "halus" (alus) dalam konteks Jawa, yang secara unik bisa diterjemahkan 
ke dalam bahasa Inggris dengan kata subtle, smooth, refined, sensitive, polite 
dan civilized. Konsep ini telah ditanamkan secara intensif dalam masyarakat 
Jawa sejak masa kanak-kanak. Ia bertujuan membentuk pola "tindak-tanduk yang 
wajar", yang perwujudannya berupa pengekangan emosi dan pembatasan antusiasme 
serta ambisi. Menyakiti dan menyinggung orang lain dipandang sebagai tindakan 
kasar, rough, crude, vulgar, coarse, insensitive, impolite dan uncivilized (ora 
njawa). Nilai-nilai semacam ini menyebabkan orang Jawa kelihatan cendrung 
mempunyai konsepsi tentang "diri" yang dualistis.
   Sebagai manifestasi tingkah laku yang halus, kita mengenal dua konsep yang 
bertautan, yaitu "malu" dan "segan". Yang pertama berkonotasi dari perasaan 
discomfort sampai ke perasaan insulted atau rendah diri karena merasa berbuat 
salah. Yang kedua, "segan", mirip dengan yang pertama tapi tanpa perasaan 
bersalah. Rasa segan (sungkan). Ini merupakan perpaduan antara malu dan rasa 
hormat kepada "atasan" atau pihak lain yang setara namun belum dikenalnya 
dengan baik.
  Dari tema-tema kultural seperti di atas, kita dapat memahami mengapa orang 
Jawa mempunyai kesulitan untuk berlaku terus terang. Ini terjadi karena ia 
ingin selalu menyeimbangkan penampilan lahiriah dengan suasana batinnya 
sedemikian rupa sehingga dianggap tidak kasar dan tidak menganggap keterbukaan 
(keterusterangan) sebagai suatu yang terpuji kalau menyinggung pihak lain. 
Untuk itu seorang lawan bicara (counterpart) mesti memiliki sensitivitas 
tertentu karena ketiadaan sensitivitas akan sering mengakibatkan suatu hasil 
yang jauh dari yang dimaksudkan.
  2. Menjunjung Tinggi Ketenangan Sikap
 Sikap ini merupakan refleksi tingkah laku yang halus dan sopan. Pola ini 
merupakan pencerminan kehalusan jiwa yang diwujudkan dengan pengendalian diri 
dan pengekangan diri. Kewibawaan ini bisa tercapai dengan bersikap tenang di 
muka umum, yaitu dengan memusatkan kekuatan diri. Ini berarti bahwa pribadi 
yang berwibawa adalah pribadi yang tenang, tidak banyak tingkah dan karenanya 
tidak akan selalu mulai melakukan manufer. Sebagai seorang yang berwibawa, 
dalam tingkat pertama, ia merasa tidak akan membutuhkan orang lain, sebaliknya 
orang lain yang selalu membutuhkannya. Karena itu, ia akan selalu merasa perlu 
membuat jarak dengan orang lain. Karakteristik inilah yang merupakan pola 
kultural bahwa tindakan dan tingkah laku akan mengakibatkan resiko tertentu 
yang tidak baik bila tindakan tersebut tidak didasarkan pada ketenangan jiwa 
atau didasarkan pada pamrih, ketidaktulusan dan penuh emosi.
   Pola ini mengindikasikan bahwa masyarakat Jawa menganggap orang yang 
berwibawa tidak perlu berarti orang yang aktif atau orang yang memecahkan 
berbagai persoalan rutin sehari-hari atau orang orang yang terlibat dalam 
pembuatan keputusan sehari-hari, bukan a man of action. Orang yang berwibawa 
adalah orang memiliki status tertentu sehingga merupakan objek loyalitas dan 
kepatuhan pada orang lain. Bertalian dengan pola ini, terdapat suatu 
kecendrungan pada orang Jawa agar kelihatan lebih penting menghargai simbol 
daripada subtansi dan menghargai status daripada fungsi seseorang.
  Letak status yang sentral ini mendapatkan penjabaran yang cukup unik dalam 
kaitannya dengan kekuasaan. Dalam konteks ini, harta merupakan sumber 
kekuasaan, sebab kekayaan merupakan sumber status, tapi sepanjang kekuasaan itu 
dirasakan juga oleh orang lain. Bila orang lain bisa menikmati kekayaan itu, 
maka kesetiaan dan ketaatan akan timbul secara otomatis dari mereka yang berada 
di sekelilingnya. Hal yang demikian berlaku pula pada sumber-sumber status yang 
lain, misalnya ilmu pengetahuan, jabatan dan sebagainya. Dengan demikian dapat 
dikatakan bahwa dalam tradisi ini kekayaan tidak secara otomatis membawa 
kewibawaan atau kekuasaan, bila kekayaan itu tidak dibagi-bagikan, tidak 
dinikmati bersama-sama. Kekayaan seperti akan bersifat destruktif, sebab 
dilandasi pamrih.
  3. Konsep Kebersamaan
 Dalam kebudayaan Jawa, kebersamaan ini secara operasional tidak sekedar 
diaktualisasikan dalam aspek-aspek yang materialistis, tapi juga dalam 
aspek-aspek yang non materialistis atau yang menyangkut dimensi moral. 
Implikasi dimensi yang sangat luas ini ialah kaburnya hak dan kewajiban serta 
tanggung jawab seseorang. Jika seseorang mempunyai hak atas sesuatu, maka dalam 
kerangka ini, orang lain akan cendrung berusaha menikmati hak tersebut. Pihak 
yang secara intrinsik mempunyai hak juga cendrung membiarkan orang lain ikut 
menikmatinya. Karena itu, kalau seseorang memiliki kewajiban atau tanggung 
jawab, maka orang tersebut cendrung ingin membagi kewajiban itu pada orang 
lain. Dengan demikian, takkala suatu pihak dituntut untuk 
mempertanggungjawabkan kewajibannya, maka secara tidak begitu sadar ia 
seringkali bersikap agar pihak lain juga bersama-sama memikul tanggung jawab 
itu. Bahkan seluruh anggota masyarakat diinginkan agar sama-sama mengemban 
tanggung jawab. Implikasi
 selanjutnya ialah adanya kecendrungan bahwa takkala diperingatkan (dikritik) 
agar bertanggung jawab, ia cendrung mengabaikan peringatan (kritik) tersebut 
sebab orang lain atau anggota masyarakat selain dia dirasakannya tidak dimintai 
pertanggunjawaban, padahal mereka telah ikut menikmati haknya tadi. Sedemikian 
jauh sifat pengabaian itu sehingga sering sampai pada titik "tidak ambil 
pusing". Pada titik inilah masyarakat Jawa kelihatan kontradiktif, yakni, pada 
satu segi, selalu berusaha bersikap dan berlaku halus serta bertindak tidak 
terus terang, tetapi pada segi lain sering bersikap "tidak ambil pusing" (tebal 
muka) terhadap kritik yang langsung sekalipun serta bersikap "menolak" secara 
terus terang.
   Dari kualitas kultural yang tergambar secara singkat di atas, kita dapat 
menyimpulkan bahwa sesungguhnya hubungan-hubungan sosial merupakan basis dan 
sumber hubungan politik. Dalam hubungan sosial politik masyarakat Jawa bersifat 
sangat personal. Di samping itu, terdapat suatu kecendrungan yang amat kuat 
bahwa dalam masyarakat terdapat watak ketergantungan yang kuat pada atasan 
serta ketaatan yang berlebihan pada kekuasaan, sebab status yang dipandang 
sebagai kewibawaan politik dijunjung begitu tinggi. Semua kecendrungan 
sosio-kultural ini memperkental sistem patron-klien yang sangat canggih dalam 
masyarakat. Dengan sistem seperti ini, keputusan-keputusan dalam setiap aspek 
diambil untuk menjaga harmoni dalam masyarakat yang dipimpin para "orang bijak" 
tersebut, yang menurut banyak orang, disebabkan oleh warisan kultural 
masyarakat pemerintahan tani tradisional yang bersifat sentralistik (Muhaimin, 
Yahya; 53-58)
  D. Telaah Kritis
 Budaya Jawa yang relatif feodal, daripada demokratis berakibat pada feodalisme 
kekuasaan nasional, merupakan persoalan urgen yang kita hadapi dalam rangka 
mewujudkan demokratisasi di Indonesia. Sebelum beranjak lebih jauh mengupas 
masalah ini, ada baiknya kita mesti memiliki pemahaman tentang indikator 
kehidupan politik yang demokratis. Bingham Powell, Jr memberikan kriteria 
tentang hal ini:
 1. Legitimasi pemerintahan didasarkan pada klaim bahwa pemerintah tersebut 
mewakili keinginan rakyatnya. Artinya, klaim pemerintah untuk patuh pada aturan 
hukum didasarkan pada penekanan bahwa apa yang dilakukannya merupakan kehendak 
rakyat.
 2. Pengaturan yang mengorganisasi perundingan untuk memperoleh legitimasi 
dilaksanakan melalui pemilihan umum yang kompetitif. Pemimpin dipilih dengan 
interval yang teratur, dan pemilih dapat memilih di antara alternatif calon. 
Dalam prakteknya, paling terdapat dua partai politik yang mempunyai kesempatan 
untuk menang sehingga piihan tersebut benar-benar bermakna.
 3. Sebagian besar orang dewasa dapat ikut serta dalam proses pemilihan baik 
sebagai pemilih maupun sebagai calon untuk menduduki jabatan penting.
 4. penduduk memilih secara rahasia dan tanpa dipaksa.
 5. Masyarakat dan pemimpin menikmati hak-hak dasar, seperti kebebasan 
berbicara, berkumpul, berorganisasi dan kebebasan pers. Baik partai politik 
yang lama maupun yang baru dapat berusaha untuk memperoleh dukungan ( Gaffar, 
Afan; 153).
   Melihat indikator ini, dapat dipahami bahwa demokrasi berkaitan erat dengan 
pertanggungjawaban, kompetisi, keterlibatan, dan tinggi-rendahnya kadar untuk 
menikmati hak-hak dasar.
  Sekarang kita coba meneropong budaya Jawa terkait dengan indikator ini. 
Ketika demokrasi menawarkan konsep egalitarian dengan memandang orang lain sama 
tinggi/sejajar, maka inilah persoalan pertama bagi budaya politik Jawa untuk 
eksis. Kemudian masalah keterbukaan, kita melihat dualisme sikap budaya Jawa 
yang cendrung tertutup sangat tidak baik bagi perkembangan demokrasi. Kritik 
terhadap pemimpin yang dianggap sebagai hal yang tabu menjadikan kedinamisan 
perbedaan terkekang. Budaya Jawa yang mementingkan keharmonisan membuat warna 
dialektis cendrung terkekang, kerena perbedaan dinihari dieliminir untuk 
menjaga keutuhan kebersamaan.
  E.Penutup
  Sebagai penutup dari makalah ini, baiknya penulis menyampaikan bahwa tujuan 
penulisan makalah ini bukanlah ingin menjatuhkan, memandang rendah, 
mengolok-olok budaya Jawa dalam konteks pelaksanaan demokratisasi di Indonesia. 
Namun, tujuan penulis hendak memaparkan tentang kecendrungan yang terjadi 
selama ini. Didukung dengan analisis-analisis para akademisi penulis mencoba 
untuk objektif mamaparkan masalah yang sensitif ini. Meskipun, budaya politik 
Jawa cendrung feodalistik, bukan berarti penulis mengatakan orang Jawa itu 
tidak demokratis. Negara kita didirikan atas dasar prinsip-prinsip demokrasi, 
dan sebagian besar perumusnya berasal dari Jawa. Telaah penulis lebih kepada 
kajian budaya, bukan spesifik kepada personal.
 Akhirnya, penulis berharap makalah ini bermanfaat dalam proses pembelajaran 
pada perkuliahan ini.
   F. Daftar Pustaka
 Alfian dan Nazaruddin Syamsuddin (Ed), 1991. Profil Budaya Politik Indonesia. 
PT Temprint; Jakarta.
   Najid, Muhammad dkk (Ed), 1996. Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara. 
LKPSM; Yogyakarta.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar