Kamis, 28 Januari 2010

DINASTI UMAYAH

DINASTI UMAYYAH


A. Muncul dan Upaya Pembentukkan Dinasti

Dinasti Umaiyyah didirikan oleh Mu’awiyah Ibnu Khaldun Abi Sufyan. Upaya strategis yang ditempuh Mu’awiyah untuk merebut kekuasaan dan sekaligus mendirikan Dinasti Umaiyyah antara lain:

Ø Pembentukan kekuatan militer di Syiria

Ø Politisasi tragedi pembunuhan Usman

Ø Tipu muslihat dalam arbitrase (pemngambilan kebijakan)

Upaya strategis tersebut di atas cukup efektif dalam memperkuat dukungan dan posisi Mu’awiyah, sehingga pada akhirnya ia mampu mengalahkan kekuatan Hasqan Ibnu Khaldun Ali, sekaligus menobatkan diri sebagai penguasa atas imperium Muslim. Dengan ini tercapailah ambisi Mu’awiyah mendirikan dinasti yang baru.


B. Corak Khusus Pemerintahan Dinasti Umayyah


Berdirinya pemerintahan Dinasti Umaiyyah tidak semata-mata peralihan kekuasaan, namun peristiwa tersebut mengandung banyak implikasi, di antaranya adalah perubahan beberapa prinsip dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi imperium dan perkembangan umat Islam. Selain itu, pada masa Dinasti Umaiyyah terjadi perubahan-perubahan yang mencolok yaitu:

· Selama masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, khalifah dipilih oleh para pemuka dan tokoh sahabat di Madinah. Kemudian pemilihan dilanjutkan dengan baiat oleh seluruh pemuka Arab. Hal serupa ini tidak pernah terjadi pada masa pemerintahan Bani Umaiyyah. Semenjak Mu’awiyah, raja-raja Umaiyyah yang berkuasa menunjuk penggantinya kelak dan para pemuka agama diperintahkan menyatakan sumpah kesetiaan di hadapan sang raja. Sistem pengangkatan penguasa seperti ini bertentangan dengan prinsip dasar dan ajaran permusyawaratan Islam.

· Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, baitul mal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat, di mana setiap warga negara memiliki hak yang sama terhadapnya, tetapi semenjak pemerintahan Mu’awiyah, baitul mal beralih kedudukannya menjadi harta kekayaan keluarga raja. Seluruh raja Dinasti Umaiyyah kecuali Umar Ibnu Khaldun Abdul Aziz memperlakukan baitul mal sebagai harta kekayaan pribadi, yang mana sang raja berhak membenlanjakannya sekehendak hati.

· Selama masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, khalifah senantiasa didampingi dewan penasihat yang terdiri dari pemuka-pemuka Islam, di mana seluruh kebijaksanaan yang penting dimusyawarahkan secara terbuka, bahkan rakyat biasa mempunyai hak menyampaikan pertimbangan dalam pemerintahan. Kebebasan berpendapat dan kebebasan menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintah maupun corak yang dominan dalam pola pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Tradisi dan kebebasan berpendapat ini tidak berlaku dalam pemerintahan Bani Umaiyyah.

· Raja-raja Dinasti Umaiyyah memunculkan kembali fanatisme keluarga dan kesukuan

· Para penguasa senantiasa hidup dalam kemegahan istana dan dijaga oleh puluhan pengawal istana.

C. Corak Penguasa dan Kebijakannya

1. Mu’awiyah

Mu’awiyah adalah penguasa Islam yang pertama yang menggantikan sistem demokratis republik Islam menjadi system monarkhis (kerajaan). Jadi Mu’awiyah adalah penguasa Islam yang beribukota di Damaskus yang menandai berakhirnya sistem khalifah, dan berganti dengan sistem kerajaan (mulk).

Mu’awiyah adalah seorang administrator yang piawai. Ia penguasa Islam pertama yang membentuk Biro Administrasi Negara yang dinamakan Diwan al-Hattam. Membentuk dan menerbitkan jawatan pos yang dinamakan Diwan al-Barid. Bekerja sama dengan Zaid, ia membentuk jawatan kepolisian yang dinamakan al-Syurtha, memisahkan tata administrasi kepidanaan dari tata administrasi non pidana. Ia mengangkat sejumlah pegawai pada tingkat propinsi dan mengangkat pejabat khusus yang menanggungjawabi pendapatan negara yang dinamakan Shahib al-Kharaj. Mu’awiyah juga menetapkan sejumlah kebijaksanaan untuk meningkatkan pendapatan negara melalui sektor pajak, lalu mengambil sebagian dana tersebut untuk santunan fakir miskin.

2. Yazid Ibnu Mu’awiyah

Ia menjadi seorang raja karena ditunjuk oleh ayahnya berdasarkan garis keturunan. Karena itulah, semasa pemerintahannya, ia banyak menghadapi pemberontakan. Dan peristiwa yang paling besar terjadi adalah adanya Peristiwa Karbala, yaitu peringatan terbunuhnya Husain, anak Ali bin Abu Thalib oleh Kaum Syi’ah.

Ia berkuasa selama tiga tahun enam bulan, namun sedikitpun tidak memberi kemajuan pada Islam. Bahkan sebaliknya, yang timbul justru keretakan dan hilangnya kesatuan umat Islam.

3. Mu’awiyah II

Ia menggantikan jabatan ayahnya, sepeninggal Yazid. Tidak banyak yang diperbuatnya ketika menjabat sebagai penguasa, karena selain ia tidak memiliki kecakapan sebagai penguasa, juga karena masa jabatannya tidak lama, yakni beberapa bulan saja.

4. Marwan (64-66 H / 683-685 M)

Mu’awiyah tidak meninggalkan seorang anak pun, sehingga proses suksesi agak berjalan lama. Sekalipun terdapat saudara laki-laki Yazid yang bernama Khalid, namun Dewan Istana mempertimbangkan perlu kehadiran seorang penguasa yang kuat untuk menyelamatkan pemerintahan yang sedang kacau, karena itu dewan menunjuk Marwan, dengan syarat, sepeninggal Marwan, jabatan penguasa akan beralih kepada Khalid. Namun Marwan mengingkari janjinya, ia menunjuk putranya Abdul Malik sebagai putra mahkota, dan ia juga menyakiti ibu Khalid yang telah diambil istri oleh Marwan. Dan inilah yang melatarbelakangi pembunuhan Marwan oleh istrinya sendiri setelah berkuasa selama empat tahun.

5. Abdul Malik (64-66 H / 683-685 M)

Selama masa pemerintahannya, Abdul Malik memprakarsai beberapa upaya pembaharuan untuk memperlancar administrasi pemerintahan. Pada masa nabi, seluruh dokumen yang berkaitan perikehidupan bangsa Arab dicatat dalam bahasa Arab. Setelah bangsa Persia, Syiria, dan Mesir bergabung dalam kekuasaan pemerintahan Islam, khalifah Umar memperkenankan dokumen yang berkaitan dengan negeri-negeri tersebut dikuasai oleh pribumi non muslim yang memahami bahasa mereka. Abdul Malik menghapuskan bahasa mereka dan menetapkan bahasa Arab sebagai bahasa resmi pemerintah. Pertama kali kebijakan ini diterapkan di Syiria dan Iraq, belakangan juga diterapkan di Mesir dan Persia. Pembaharuan-pembaharuan yang lain:

ü Perbaikan mata uang

ü Pembaharuan ragam bahasa Arab

ü Mengembangkan sistem pos yang sebelumnya telah didirikan oleh Mu’awiyah.


6. Walid Ibnu Khaldun Abdul Malik / Walid I (86-96 H / 705-715 M)

Walid I naik tahta di Damaskus pada tahun 705 M. Pada masa pemerintahannya, dalam bidang ekspansi kekuasaan, terjadi ekspansi yang sangat besar, baik ke wilayah timur maupun ke wilayah barat. Wilayah yang ditaklukan antara lain:

ü Penaklukan Asia Tengah

ü Penaklukan Indo-Pakistan

ü Penaklukan Afrika

ü Penaklukan Spanyol

7. Sulaiman Ibnu Khaldun Abdul Malik (96-99 H / 715-717 M)

Ia berkuasa selama 2 tahun dan tidak ada hal yang diperbuatnya. Di sisi lain, ia telah banyak berbuat kesalahan. Satu kebijaksanaan yang dapat dicatat dari Sulaiman adalah penunjukannya terhadap Umar Ibnu Khaldun Abdul Aziz sebagai penggantinya.

8. Umar Ibnu Abdul Aziz (99-101 H / 717-720 M)

Ia berusaha menghapuskan ketidaksamaan kedudukan antara kelompok muslim Arab dengan muslim non Arab. Ia juga mengambil kebijakan mengembalikan hak pensiun dan anak-anak yatim pejuang Islam. Ia juga mengembalikan tuntutan masyarakat Kristen di Damaskus.

9. Yazid II Ibnu Abdul Malik (101-105 H / 720-724 M)

Adanya konflik antar Suku Mudariyah dengan Suku Himyariyah.

10. Hisyam Ibnu Abdul Malik (105-125 H / 724-743 M)

Terjadi Gerakan Hasyimiyah yang mendapat dukungan dari orang-orang Turkoman dan kelompok Khajar dari Afrika.

11. Walid II (125-126 H / 743-744 M)

Ia adalah raja yang “bermuka dua” di balik sifatnya yang baik, tersimpan watak yang jahat dan korup.

12. Yazid III

Ia adalah penguasa yang saleh dan bertaqwa. Ia menuruti tuntutan rakyatnya untuk memecat para pegawai yang korup dan memperkecil beban pajak.

13. Marwan II (127-132 H / 744-750 M)

Tindakan pertama yang dilakukan Marwan II adalah memindahkan ibukota kerajaan dari Damaskus ke Hassran untuk menjalin kekuatan pengikutnya di Syiria dan sebagai langkah untuk menyatukan kembali kelompok-kelompok penentang. Ia berhasil memukul pemberontakan di Palestina, yakni Sabit Ibn Na’im beserta keluarganya. Marwan merupakan penguasa terakhir dari Dinasti Umaiyyah.

D. Akhir Dinasti

Terdapat banyak sebab yang mendukung hancurnya Dinasti Umaiyyah, setelah berlangsung kurang lebih sembilan puluh tahun. Sebab-sebab tersebut antara lain:

Ø Ketidakcakapaan para penguasa, serta kejahatan perilaku mereka

Ø Egoisme para pejabat pemerintahan dan terjadinya sejumlah pembelotan militer

Ø Persaingan antar suku

Ø Tidak adanya mekanisme dan aturan baku mengenai suksesi kepemimpinan

Ø Perlakuan yang tidak adil terhadap non Arab (mawali)

Ø Propaganda dan gerakan Syiah

Ø Propaganda dan gerakan Abbasiyah

DINASTI ABBASIYAH

A. Muncul dan Upaya Pembentukkan Dinasti

Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abu Al-Abbas, dinasti ini secara revolusioner berdiri dengan menggulingkan kekuasaan Dinasti Umaiyyah. Ada beberapa faktor yang mendukung keberhasilan pembentukan dinasti ini, antara lain:

Ø Meningkatnya kekecewaan kelompok Mawali terhadap dinasti Umaiyyah

Ø Pecahnya persatuan antar suku-suku bangsa Arab

Ø Timbulnya kekecewaan masyarakat agamis dan keinginan mereka memiliki kepemimpinan kharismatik

Faktor-faktor tersebut di atas pada satu sisi mendukung jatuhnya kekuasaan Dinasti Umaiyyah, dan pada sisi lainya sekaligus mendukung keberhasilan gerakan pembentukan Dinasti Abbasiyah.

B. Corak Khusus Pemerintahan Dinasti Umayyah

Dengan berdirinya kekuasaan Dinasti Abbasiyah, terjadilah beberapa perubahan sosial politik. Perubahan yang menonjol adalah kelompok Mawali, khususnya Persia-Irak. Mereka menduduki posis penting dalam pemerintahan menggantikan kedudukan bangsawan Arab. Pada jaman ekspansi, masyarakat Arab merupakan kelompok bangsawan yang berkuasa dan merasa lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan masyarakat non Arab yang dikuasainya. Masyarakat Khurasan yang tidak berdarah keturunan Arab mendukung kekuasaan Bani Abbasiyah, sekalipun pucuk pimpinan tetap dikuasai oleh keturunan Arab Hasyimiyah, sebab selama pemerintahan ini, mereka diberi kesempatan dan peran-peran yang strategis dalam tata pemerintahan. Dinasti ini hampir tidak memperdulikan ras Arab, melainkan mengembangkan pola penyatauan antara ras Arab dengan ras lainya dalam kesatuan dukungan terhadap pemerintahan Bani Abbasiyah.

C. Corak Penguasa dan Kebijakannya

1. Abul Abbas as-Saffah

Abul Abbas as-Saffah dinobatkan sebagai khalifah pertama Dinasti Abbasiyah oleh pengikutnya pada tahun 133 H / 750 M, pada sebuah masjid yang dilanjutkan penobatan secara masal oleh dirinya sendiri. Tindakan pertama yang ditempuhnya adalah menyapu bersih anak turun Dinasti Umaiyyah. Atas perintahnya, sang paman yang bernama Abdullah membantai keturunan Dinasti Umaiyyah secara licik.

Dengan cara demikian ini, Abul Abbas membuktikan gelar dirinya sebagai “al-Saffah” (si penumpah darah atau si haus darah) dan sekaligus merealisasikan sumpahnya sewaktu penobatan sebagai khalifah, bahwa keturunan Umaiyyah pantas mendapat balasan yang setimpal dengan kesalahannya.

Masa pemerintahan Abul Abbas tidak berjalan lama, hanya sekitar lima tahun. Ia meninggal di istana Ambariyah pada tahun 133 H / 754 M. Namun sebelum meninggal, telah menunjuk saudara yang bernama Abu Ja’far sebagai pengganti tahta kerajaan.

2. Abu Ja’far al-Manshur

Pada saat Abul Abbas wafat, Abu Ja’far al-Manshur sedang dalam berpergian menunaikan ibadah haji ke Mekah. Maka penobatan dan penerimaan sumpah diwakilkan kepada kemenakannya yang bernama Isa. Abu Ja’far segara kembali ke Khufah untuk menerima penyerahan jabatan khalifah dengan gelar “al-Manshur” (kemenangan). Al-Manshur dan beberapa khalifah Abbasiyah pertama merupakan penguasa yang memiliki kemampuan dan kecakapan yang luar biasa, yang mencurahkan segala waktu, tenaga, dan pikirannya demi kemajuan dan kesejahteraan bangsanya.

Adalah menjadi tugas khalifah al-Manshur untuk mengkonsolidasikan dinasti yang baru saja berdiri ini secara kokoh. Terdapat beberapa gerakan pemberontakan yang cukup besar, namun semuanya dapat ditaklukan dengan tangan besinya.

Al-Manshur selama menguasai pemerintahan selama lebih kurang 22 tahun telah membuktikan prestasi besar dalam mengkonsolidasikan situasi politik. Ia adalah pendiri Dinasti Abbasiyah yang sesungguhnya.

3. Al-Mahdi

Al-Mahdi menggantikan kedudukan ayahnya, Al-Manshur pada tahun 157 H / 775 M. Ia merupakan penguasa yang lemah lembut dan dermawan. Ia menandai masa awal pemerintahannya dengan membebaskan seluruh tahanan, bahkan penjahat kejam sekaligus. Kekayaan peninggalannya ayahnya yang melimpah membuatnya berkesempatan membuat program-program yang besar.

Masa pemerintahan Al-Mahdi merupakan era kemakmuran. Ia sudah berbuat banyak demi ketertiban imperium.

4. Musa Al-Hadi

Sepeninggal al-Mahdi, tahta kerajaan Abbasiyah dijabat oleh putra yang tertua yang bernama Musa Al-Hadi. Sekalipun Harun, adik Musa menyatakan persetujuan dan dukungan atas penobatan Musa, namun agaknya sang kakak tidak menaruh kepercayaan sepenuhnya terhadap dukungan dan loyalitas Harun. Musa mengatur rencana mendekap Harun, dan berusaha memindahkan hak pengganti kedudukan khalifah kepada putranya yang bernama Ja’far. Dengan tindakan Musa ini, kalangan istana Abbasiyah terbagi dua kubu, satu kubu memihak kepada Musa Al-Hadi dan satu kubu lainya memihak kepada Harun. Ketika konflik sudah semakin kritis, Harun meninggalkan istana demi untuk menyelamatkan diri dari ancaman Musa Al-Hadi. Musa Al-Hadi meninggal setelah memegang pemerintahan tidak lebih dari dua tahun.

5. Harun Al-Rasyid

Sesuai dengan amanat Al-Mahdi, Harun Al-Rasyid segera menduduki tahta kerajaan sepeninggal saudaranya al-Hadi. Ia dinobatkan sebagai pemangku tahta kerajaan pada usia 25 tahun dan berkuasa selama 23 tahun. Penobatan ini mengantarkan Dinasti Abbasiyah pada masa kemajuan yang gemilang. Kebijakan pertama yang ditempuh khalifah Harun adalah melantik seorang penasihat pribadinya yang bernama Yahya Ibn Khalid al-Barmaki sebagai Perdana Menteri (Wazir), dan sekaligus mengangkat dua putra Yahya yang bernama Fadl dan Ja’far sebagai pejabat tinggi Harun. Harun Al-Rasyid tidak hanya sebagai khalifah terbesar Abbasiyah sekaligus juga sebagai penguasa terbesar dunia pada saat itu. Selama masa pemerintahannya, rakyat hidup dalam kemakmuran yang merata, ilmu pengetahuan dan peradaban memasuki era kemajuan yang menakjubkan.

6. Al-Amin

Sepeninggal Harun, putranya yang tertua yakni Al-Amin meneruskan kedudukan ayahnya. Ia adalah pemuda yang suka kemewahan dan kesenangan dunia. Ia menyerahkan urusan pemerintah kepada Perdana Menterinya, yakni Fazl Ibn Rabi’, sedangkan ia tetap sibuk dengan kesenangan pribadinya.

7. Al-Makmun

Dengan kemenangan dalam perang saudara, al-Makmum menduduki tahta Kerajaan Abbasiyah, namun ia tetap menyibukan diri dengan kajian filsafatnya di Merv. Karenanya, ia menyerahkan urusan pemerintahan kepada wakilnya yakni Fadl Ibn Sahal. Pemerintahannya menandai kemajuan yang terhebat dalam sejarah Islam. 21 tahun masa pemerintahannya meninggalkan warisan kemajuan intelektual Islam yang sangat berharga, dalam berbagai bidang pemikiran.

8. Al-Mu’tasim

Ketika Al-Makmun sedang dalam keadaan sakit, Al-Mu’tasim melancarkan propaganda yang mengklaim diri sebagai khalifah, sehingga sepeninggal al-Makmun, ia menduduki jabatan ini. Al-Mu’tasim meninggal pada tahun 842 H. Menurut Gibbon, “pada masa pemerintahan Al-Mu’tasim ini, kebesaran Abbasiyah dan bangsa Arab mulai memudar”

9. Al-Wathiq

Al-Wathiq menjabat tahta kerajaan setelah kematian ayahnya, Al-Mu’tasim. Ia merupakan penguasa yang cakap, pemerintahannya mantap dan mengalami masa pencerahan. Al-Wathiq meninggal dalam usia yang relatif masih muda, satu-satunya kelebihan masa pemerintahannya selama 6 tahun adalah keramahannya dan kedermawanannya terhadap masyarakat miskin.

10. Al-Mutawakkil

Al-Wathiq meninggal tanpa menunjuk seorang penggantinya. Hakim Agung, para Wazir, dan mayoritas kalangan Istana mendukung pengangkatan putra Wathiq yang bernama Muhammad, sekalipun dia masih kanak-kanak. Tetapi dua perwira Turki yang bernama Wassif dan Itakh menolak kesepakatan, keduanya menghendaki saudara Al-Wathiq yang bernama Ja’far yang bergelar Al-Mutawakkil. Al-Mutawakkil tidak toleran terhadap kelompok Syiah, tindakannya yang kejam turut melatarbelakangi pembunuhan dirinya oleh seorang pengawal pribadinya yang berasal dari Turki. Masa pemerintahannya selama 15 tahun merupakan masa disintegrasi yang menandai masa awal runtuhnya dinasti imperium Abbasiyah. Sepeninggalnya, imperium ini mengalami masa kemunduran secara drastis.

D. Akhir Dinasti

Selama periode Perang Salib, panglima dan pasukan Muslim telah menunjukan sikap mereka yang sangat menawan dan bijaksana. Sementara itu, bersamaan dengan periode ini, kekhalifahan Abbasiyah di Bagdad tengah dilanda konflik politik internal. Ketika kekuasaannya terancam oleh serangan Pasukan Salib, mereka sama sekali tidak mengambil sikap peduli. Mereka justru bermalas-malasan dan bersikap boros. Pola kehidupan sang khalifah yang demikian ini berlangsung terus menerus sampai Bagdad ditundukkan oleh Hulagu Khan, cucu Jenghis Khan. Hulagu dengan sangat mudah menghancurkan kota Bagdad dan membunuh khalifah Abbasiyah yang terakhir, yakni al-Mu’tasim. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1258 M, yang menandai akhir masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah.

Sebab-sebab runtuhnya Dinasti Abbasiyah antara lain disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:

Ø Mayoritas Khalifah Abbasiyah periode akhir lebih mementingkan urusan pribadi dan melalaikan tugas dan kewajiban mereka terhadap negara.

Ø Mereka menjalani kehidupan dengan bermegah-megahan dan bermewah-mewahan.

Ø Mereka lebih memusatkan perhatian dan waktunya dengan minuman keras, wanita, dan musik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar